Baru-baru ini saya dan teman-teman mengikuti sebuah konferensi di Ubud, tak jauh dari Gianyar, Bali selama beberapa hari. Setelah kegiatan konferensi selesai, kami berencana berkunjung ke desa adat yang menjadi obyek penelitian salah seorang teman. Kami berangkat pagi hari karena akan mampir ke Gunung Kawi.
Gunung Kawi?
Berbeda dengan yang ada di Jawa Timur, Gunung Kawi di Bali merupakan candi dan lokasinya di lembah yang mengapit sebuah sungai di antara hijaunya hamparan sawah bertingkat. Candi ini disebut sebagai Candi Tebing Gunung Kawi yang terletak di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali.
Ini kedua kalinya saya mengunjungi Candi Tebing Gunung Kawi. Beberapa tahun sebelumnya saya pernah mengunjunginya bersama suami. Waktu itu suami penasaran dengan Candi Tebing Gunung Kawi, Bali, yang menurut informasi yang pernah dibaca, merupakan candi dari abad ke-11. Berarti situs ini tergolong situs purbakala.
Menuju Candi Tebing Gunung Kawi
Begitu sampai ke area parkir, suasana asri dan sejuk sudah terasa karena adanya pohon-pohon yang rimbun. Area masuk sudah tertata apik dibanding beberapa tahun yang lalu. Kami kepagian, karena belum ada petugas yang berjaga di loket masuk. Seingat saya ketika memasuki area kami harus memakai sarung dan selendang di pinggang, seperti lazimnya bila kita mengunjungi pura di Bali.


turun berjumpa dengan pedagang souvenir
Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, angin sepoi menerpa wajah. Kami pun di arahkan menuju area candi. Hanya satu jalan, ternyata kami harus melalui tangga menurun ke bawah.
Saya yang merasa masih segar, awalnya ringan saja menuruni anak tangga. Setelah sekira beberapa puluh anak tangga, mulailah bertanya di dalam hati, ini kapan sampainya?
Berjumpa dengan pedagang souvenir yang bersiap, tak lama setelah turun agak membelok, kami tiba di tengah hamparan sawah yang menghijau. Embun pagi masih menampakkan kilaunya diterpa matahari pagi di bulan September.

Masih puluhan anak tangga menurun, sampailah kami di tengah tebing cadas yang dipahat rapi.
Saya pun terkagum-kagum, ini memotong dan memahat tebing pastinya memakai peralatan sederhana, tetapi irisannya rapi dan presisi.
Setelah melalui entah beberapa anak tangga ke bawah, di sisi kiri, sampailah kami ke sebuah pelataran.
Di dinding cadas terpahat bentukan candi berjajar sebanyak 4 candi yang sama bentuknya. Candi-candi tersebut dipahat di dalam ceruk. Ceruk tersebut seolah melindungi candi dari terpaan hujan yang mengikis.
Semburat sinar matahari pagi menyinari seluruh Candi Tebing Gunung Kawi sisi Barat yang kira-kira setinggi rumah ini.


turun ke pelataran candi
Tampak dari pelataran yang kami singgahi ini di seberang terdapat lagi pahatan candi di tebing. Kami pun kembali ke jalur mengikuti saja anak tangga menurun kembali dan sampai ke sebuah jembatan. Di bawahnya mengalir sungai di antara rimbunan pohon. Akar-akar gantung dari pohon-pohon besar menambah suasana makin eksotis. Terdengar hanya desau angin dan kricikan air sungai yang tidak terlalu lebar ini. Sangat berbeda dengan hingar bingar area wisata lainnya di Bali.
Setelah melalui jembatan, agak naik tangga kami sampai di pelataran candi di sisi Timur.
Pelataran dibatasi oleh kolam dan agak naik terpahat di cadas 5 candi yang mirip dengan candi di sisi Barat.
Area ini merupakan area utama. Di sisi Selatan pelataran utama naik tangga terdapat area peribadatan.
Di Candi Tebing Gunung Kawi juga berfungsi sebagai pura atau tempat beribadatan penganut Hindu.
Tak tampak kegiatan peribadatan, kami hanya melihat-lihat sebentar dan kembali berfoto-foto.


Sejarah Candi Tebing Gunung Kawi
Mengingat bahwa menurut suami candi dari abad ke-11 saya pun menggali lebih dalam informasi tentang situs ini.
Asal mula nama Candi Gunung Kawi berasal dari kata gunung yang berarti gunung. Sedangkan kawi berarti pahatan. Nama ini sesuai dengan keadaan candi yang dibuat dati batu tebing dengan cara dipahat. Adapun penemuan situs Candi Tebing Gunung Kawi pertama kali ditemukan oleh peneliti asal Belanda pada tahun 1920. Sejak itu penelitian terus dilakukan untuk menggali lebih dalam riwayat dibaliknya.
Dari penelitian ada dugaan bahwa candi ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Udayana hingga pemerintahan anaknya yang bernama Anak Wungsu.
Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan telah dibangun sejak pertengahan abad ke-11 Masehi, pada masa dinasti Udayana (Warmadewa). Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan berakhir pada pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M).
Menurut sejarah, Raja Udayana dan permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Sang sulung, Airlangga, kemudian diangkat menjadi Raja Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Saat Udayana wafat, tahta diserahkan kepada Marakata – yang kemudian diteruskan kepada Anak Wungsu. Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi awalnya dibangun oleh Raja Marakata sebagai tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana.
Secara tata letak, ada sepuluh candi yang tersebar di tiga titik. Lima di antaranya berada di sisi timur sungai Tukad Pakerisan, merupakan bagian utama komplek candi. Candi paling utara, diduga candi yang pertama dibangun dan dimanfaatkan sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Sedangkan keempat candi lainnya untuk permaisuri dan anak-anak Raja Udayana.
Di seberang sungai, di sisi barat, area tempat pertama kami sambangi, diduga didedikasikan bagi keempat selir Raya Udayana. Sedangkan satu candi agak terpisah diduga dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi kerajaan.
Penutup

Menilik sejarah panjang terbentuknya Candi Tebing Gunung Kawi tersebut, penelitian masih terus dilakukan untuk menggali lebih banyak informasi. Apalagi situs tersebut dibangun abad ke 11, maka ada dugaan ada keterkaitan dengan raja di pulau Jawa cukup kuat.
Sudah waktunya kita sebagai generasi penerus wajib memelihara situs-situs purbakala yang ada. Bagaimana menurut pendapat teman narablog lainnya?