Legenda Danau Kawah Tiga Warna Kelimutu, Flores

Indonesia kaya dengan potensi wisata alam dan kisah dibalik terbentuknya obyek wisata tersebut. Di balik pesona danau, hutan, gunung, dan laut, seringkali disertai dengan mitos atau legenda yang diceritakan turun temurun oleh penduduk sekitarnya. Contohnya adalah Danau Kawah Tiga Warna di Kelimutu, Flores.

Terbentuknya Danau Kawah Tiga Warna Kelimutu

lapangan parkir
kelimutu national park

Hari masih pagi, kira-kira pukul 07:30, selain bus yang kami naiki, ada angkutan umum khas Flores yang sudah lebih dahulu tiba. Angkutan umum di Flores itu unik, seperti truk kecil, dengan pagar kayu, beratap terpal, dan tentu saja muat lebih banyak penumpang.

Dari lapangan parkir, kami naik tangga sedikit, belok kiri berjalan di jalan tanah di antara pohon-pohon sungguh asri. Apalagi saya ini jarang kan berkesempatan jalan-jalan di hutan. Kami jalan santai saja, walaupun di antara kami ada lebih suka jalan cepat.

menyusuri hutan menuju ke danau kawah

Menilik sejarah gunung Kelimutu, awalnya ada 3 gunung yang berjajar membentuk kompleks gunung api purba Sokoria, yaitu gunung Kelido (1641 m dpl), gunung Kelibara (1630 m dpl), dan gunung Kelimutu (1640 m dpl). Dari ketiga gunung itu, hanya gunung Kelimutu yang masih menunjukkan keaktivan hingga sekarang.

Tubuh gunung Kelimutu dibangun dari bebatuan Piroklastika (bom, lapili, scoria, pasta, abu, awan panas, dan lahar) serta lelehan lava. Pada puncak gunung Kelimutu terdapat 3 buah sisa kawah yang merupakan perpindahan puncak erupsi.

Ketiga sisa kawah tersebut kini berupa danau kawah dengan warna air yang berlainan satu sama lain. Menurut papan informasi di Taman Nasional Kelimutu, warna-warna danau merupakan reaksi kimia yang dihasilkan dari mineral yang terkandung di danau dipicu oleh aktivitas gas gunung berapi.

Danau-danau tersebut ada namanya, yaitu: Tiwu Ata Polo (danau merah), Tiwu Nua Muri Ko’o Fai (danau hijau), dan Tiwu Ata Mbupu (danau biru).

Nah, ke sanalah kami melangkah.

pelataran pertama, latar belakang Danau Timu Ata Polo

Menurut penunjuk jalan yang memandu kami, ada 2 pelataran singgah untuk mengamati ke tiga danau tersebut. Pelataran pertama, kami dapat mengamati dua danau yang berdampingan, yaitu Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nua Muri Ko’o Fai.

Dua danau tersebut walaupun sama-sama berwarna biru, tetapi biru yang berbeda. Dulunya di antara kedua danau tersebut masih dapat dilalui oleh jalan setapak. Tetapi dari waktu ke waktu karena gerusan dinding di antara ke dua dana tersebut, maka keduanya hanya dibatasi oleh dinding tipis.

Sedangkan pelataran ke dua, kami masih harus menapak menaiki tangga batu. Walaupun tangga dibuat cukup landai, perlu kehati-hatian, karena tidak ada pagar pengaman (railing) untuk pegangan.

naik ke pelataran kedua

Beberapa teman yang siap, sudah membawa tongkat sebagai alat bantu menapak. Ya sudahlah, pelan-pelan saja. Sebagian dari kami ragu, sebagian lagi semangat. Masing-masing menilai saja kemampuan diri sendiri. Akhirnya kami bisa berkumpul semua di puncak gunung Kelimutu.

kiri, Danau Tiwu Nua Muri Ko’o Fai di kejauhan di sebelahnya Danau Tiwu Ata Polo; kanan, Danau Tiwu Ata Mbupu

Dari pelataran ke dua ini, kami bisa mengamati semua Danau Kawah Tiga Warna Kelimutu. Danau terakhir, Tiwu Ata Mbupu, ternyata agak terpisah dan warnanya lebih gelap.

Sudah nih. Sekarang tiba waktunya turun gunung.

Di pelataran ke dua, ada saja yang buka lapak sambil kemulan sarung tenun ikat. Pantas, saya baru mengerti, kenapa tenun ikat khas Flores tersebut merupakan dua buah sarung yang dijahit menjadi satu. Supaya cukup menutup seluruh tubuh, kan

penjual kain tenun
penjual kain tenun
turun ke pelataran pertama
turun jauh ke pelataran pertama

Legenda Danau Kawah Tiga Warna Kelimutu

Kisah legenda danau ini sudah ada turun temurun, dan sampai sekarang pun gunung Kelimutu masih dipercaya mempunyai kekuatan magis.

Konon, danau yang terbentuk di gunung Kelimutu adalah akibat pertarungan sengit antara Ata Polo, seorang tukang tenung kejam yang memakan manusia, dan Ata Mbupu, seorang tokoh masyarakat yang dihormati dan hatinya baik.

Pada suatu hari, sepasang Ana Kalo (anak yatim piatu) mendatangi Ata Mbupu untuk minta perlindungan, karena orangtua mereka sudah wafat. Ata Mbupu pun menerima anak tersebut dengan syarat tetap berlindung di ladang supaya tidak dimakan Ata Polo.

Ata Polo yang mengetahui keberadaan kedua anak yatim tersebut kemudian berusaha mencari karena hendak memakannya. Ata Mbupu yang menyadari hal ini menahan keinginan Ata Polo dan membuat perjanjian agar Ata Polo datang kembali ketika Ana Kalo sudah dewasa, dengan alasan akan lebih nikmat disantap. Saran ini pun diterima Ata Polo.

Ana Kalo pun beranjak dewasa dan menjadi anak gadis (Ko’o Fai) dan pemuda (Nuwa Wuri). Mereka minta izin ke Ata Mbupu untuk meninggalkan ladang dan bersembunyi di gua. Tentu saja ketika Ata Polo datang menagih janji, dan kedua anak tersebut tidak ada, timbul amarahnya. Ata Polo tak terima, karena menganggap Ata Mbupu ingkar janji.

Keduanya, Ata Mbupu dan Ata Polo pun berkelahi. Sayang, Ata Mbupu yang mempunyai kekuatan magi putih tidak dapat menahan kekuatan Ata Polo dengan kekuatan magi hitam. Ata Mbupu pun masuk ke dalam bumi. Sedangkan Ata Polo yang diliputi kemarahan menimbulkan kebakaran hutan, yang justru membuatnya ditelan bumi.

Ketika Ata Mbupu dan Ata Polo bertarung tersebut menimbulkan gempa bumi yang mengubur hidup-hidup Nuwa Wuri dan Ko’o Fai yang sedang bersembunyi di dalam gua.

Di tempat-tempat Ata Mbupu menghilang tersebut timbul danau berwarna biru gelap ke arah hitam diberi nama Tiwu Ata Mbupu, yang dipercayai tempat berkumpulnya arwah para orangtua. Sedangkan tempat Ata Polo menghilang, timbul danau yang berwarna merah dan diberi nama Tiwu Ata Polo, dipercayai sebagai tempat berkumpulnya arwah orang jahat.

Tempat tertimbunnya Nuwa Wiru dan Ko’o Fai, timbul danau yang berwarna biru terang diberi nama Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai. Danau ini diyakini masyarakat menjadi tempat berkumpulnya arwah anak-anak muda yang meninggal.

Penutup

Sampai sekarang masyarakat setempat masih percaya dengan bahwa apa yang terjadi di dunia dapat dilihat dari perubahan warna pada air danau. Misalnya terjadi gejolak politik, maka air danau akan berwarna merah.

Tinggalkan komentar