Pengalaman Geowisata Pulau Berbatu di Belitung

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi pulau Belitung bersama rombongan dosen dari sebuah kampus di Bandung. Kami pun seperti halnya semua orang yang berkunjung ke pulau Belitung tentu saja geowisata pulau berbatu di sana.
Tahu sendiri, kan, tanda sudah pernah berkunjung ke pulau Belitung adalah foto-foto di pantainya yang bersih. Uniknya duo pulau Bangka-Belitung adalah adanya pantai-pantai berbatu berukuran besar. Pertanyaannya adalah, batu-batu granit tersebut seolah bermunculan dari dalam bumi.

Kekhasan Geologi Pulau Belitung

Penasaran, saya pun mempelajari kemunculan batu-batu granit di kepulauan Bangka-Belitung dalam bongkah-bongkah raksasa yang memang unik. Secara geologi, batu-batu granit raksasa tersebut sebenarnya merupakan bagian dari suatu tubuh batuan beku yang menjadi batuan dasar Indonesia bagian Barat yang disebut batolit.

Sebaran batu granit ini sebenarnya bukan hanya di Bangka Belitung saja, tetapi hingga ke Laut Cina Selatan termasuk sebagian Kalimantan bagian Barat. Informasi ini diperoleh dari para penyelam di sekitar pulau Belitung yang menyatakan bahwa tubir-tubir bawah laut terdiri dari lereng-lereng terjal batu granit yang menyambung antara satu pulau ke pulau lainnya.

Awalnya saya menduga batuan tersebut bermunculan karena ada gunung berapi di sekitar pulau Belitung kemudian meletus dan menyebarkan batu-batuan tersebut. Ternyata batu-batu tersebut bermunculan ke permukaan bumi bukan hanya dari letusan gunung berapi, tetapi mungkin terjadi karena proses tektonik.

Jadi oleh proses tektonik, batuan-batuan ini mengalami pengangkatan, bahkan beberapa mengalami pematahan dan peretakan. Akibatnya batu granit yang tadinya berasal jauh di bawah permukaan bumi, muncul ke permukaan bumi.

Hop On Hop Off Island Tour

pantai tanjung pandan
pantai tanjung pandan

Titik awal keberangkatan kami adalah dari kota Tanjung Pandan, tempat kami menginap.
Kami sudah berpesan ke supir mobil sewaan untuk menjemput pada pukul 08:00 dan wisata hop-on hop-off mengantarkan ke pantai Tanjung Kelayang dan pulau-pulau berbatu lainnya.

Dari pantai Tanjung Kelayang rencananya kami akan naik kapal motor dan mampir ke pulau-pulau kecil berkarakter yang menjadi ciri khas perairan Barat pulau Belitung.

Dalam perjalanan menuju pantai, kami mampir ke sebuah kantin untuk memesan bekal makan siang nanti. Saran supir travel, sebaiknya kami membawa sendiri makan siang, karena di pulau-pulau yang kami kunjungi, kemungkinan warung makan terbatas dan harganya mahal.

Begitu turun dari mobil kami langsung bergegas ke pantai dan berfoto-foto di antara batu-batu yang bertebaran di pantai. Batu-batu raksasa tersebut seolah memanggil kami untuk diloncati dan dinaiki.

Pantai Tanjung Kelayang

Sebelum berangkat, awak kapal mengingatkan kami untuk menyewa pelampung, masing-masing Rp. 20.000,-. Kios penyewaan pelampung juga menyewakan alat snorkeling bagi yang berminat, dan penjualan baju ala kadarnya.
Karena saya tidak yakin dengan kondisi di atas kapal, saya tak ikut menyewa alat snorkeling. Takutnya saya kesulitan membilas dan tak nyaman dalam keadaan basah-basah setelah berenang dan snorkeling.

Pulau Burung

pulau burung

Setelah sekian menit perjalanan, sampailah kami di suatu titik di mana kami bisa memandang sebuah pulau yang mirip sekali dengan bentuk kepala burung. Pulau ini dinamakan Pulau Burung.

Kalau mempelajari sejarah munculnya batu-batu granit ke permukaan, ternyata masih ada proses alam lanjutan yang membentuk batu-batu tersebut mirip ini dan itu. Asal tahu saja, prosesnya bisa ribuan tahun, lho. Mungkin akibat gerusan air pasang, ombak badai, panas terik, batu-batu tersebut mengalami deformasi.

Pulau Berlayar

Pengalaman Geowisata Pulau-pulau Berbatu di Belitung
pulau batu berlayar

Lepas dari berhenti sejenak di spot tempat kita mendapatkan view foto kepala burung, perjalanan dilanjutkan ke spot berikutnya. Kali ini perahu merapat, penumpang boleh turun sejenak untuk mengamati pulau.

Ada sebuah batu besar berdiri tegak yang dari kejauhan mirip layar, oleh sebab itu dinamakan Pulau Berlayar. Setelah penumpang turun, perahu pun menjauh dari pantai, dan sepakat untuk menjemput kembali. Setiap kapal memang tidak bisa berlama-lama merapat di pantai, untuk memberi kesempatan perahu berikutnya untuk menurunkan penumpang.

Pulau Pasir

bintang laut
bintang laut di pulau pasir

Lepas dari Pulau Berlayar, perjalanan dilanjutkan mampir ke pulau Pasir. Pulau Pasir sebetulnya bukan sebuah pulau berpenghuni.
Pulau ini merupakan karang gosong berpasir putih yang timbul saat laut surut. Bila laut pasang, maka pulau tersebut hilang dari pemandangan. Pulau yang luasnya tak sampai setengah lapangan sepak bola tersebut ramai pengunjung. Lagi-lagi wisatawan rombongan harus bersabar untuk bergantian berfoto-ria.

Pulau Lengkuas

mercusuar di pulau lengkuas

Perjalanan pun kami lanjutkan ke spot berikutnya. Dari kejauhan tampak menara tinggi, sebuah mercusuar berdiri tegak, dan kami merapat ke sana.
Indah sekali.

Baru sekarang saya melihat mercu suar dari dekat. Bisa naik ke atas, enggak, ya?
Angan-angan tersebut, kalau pun memungkinkan harus berpikir 1000 kali. Memangnya mudah menaiki tangga mercusuar?

mercusuar

Kami merapat ke Pulau Lengkuas bertepatan dengan waktu lohor, saatnya istirahat shalat dan makan siang. Oleh sebab itu perbekalan makan siang berupa nasi kotak kami bawa ke darat.

Sesuai perkiraan, tak banyak menu yang ditawarkan di warung setempat. Adanya pop mie, pempek, minuman ringan, dan kelapa muda.
Kami pun memesan kelapa muda beberapa, agar bisa menggunakan meja untuk digunakan menyantap bekal makan siang.

Sesudah makan siang, kami pun mencari tempat sholat. Kata Mas-mas pelayan warung, mushola ada di kompleks mercusuar. Kami bergegas menuju mushola, apalagi hujan mulai turun.

Asal Usul Nama Pulau Lengkuas

Seorang bapak mengarahkan kami untuk menuju tempat wudhu atau mau ke toilet terlebih dahulu. Keran wudhu hanya satu.
Sepertinya pulau ini tak terlalu disiapkan untuk menerima banyak wisatawan Muslim. Dalam bayangan saya, harusnya keran wudhu lebih banyak, dan mushola dipisahkan untuk pria dan wanita.

Hujan masih deras mengguyur, saya berbincang dengan bapak penjaga mercusuar.
Di dinding bawah mercusuar terpampang tahun didirikannya, yaitu tahun 1882 oleh L.I.Enthoven & co.
Menurut bapak Budi, yang merupakan pegawai Direktorat Perhubungan, mercusuar tersebut masih berfungsi. Hanya ada 2 (dua) orang pegawai yang sehari-hari bertugas mengawasi lampu mercusuar.

Pulau ini kecil saja, sepengamatan saya tidak ada tanaman lengkuas (laos) yang menunjukkan karakter pulau. Ternyata menurut bapak Budi, nama lengkuas bukan berarti di pulau tersebut ada kebun lengkuas, atau pulau ini penghasil lengkuas. Tetapi dari pelafalan penduduk setempat untuk nama bangunan.

“Dari lang haus, Bu, rumah panjang, bangunan yang memanjang ini, sebutan untuk tempat tinggal dan menara yang tinggi. Long house, lang haus, longkhos, longkos, jadi lengkoas”.

Pantas saja tidak ada tanda-tanda menunjukkan adanya pohon lengkuas.

Ketika saya menyinggung tentang kran wudhu yang minim, bapak Budi menjelaskan bahwa di pulau Lengkuas tidak ada sumber air. Satu-satunya sumber air tawar bersih berasal dari hujan.

Di depan area mercusuar tampak drum-drum penampungan air hujan kemudian difilter lalu ditampung di jerigen-jerigen kecil dan disalurkan ke keran untuk keperluan wudhu tadi.

Pantas keran hanya satu, karena air tawar harus sangat dihemat.
Sedangkan bak-bak di kamar mandi cukuplah diisi dengan air laut.

Penjara Jongkok dan Penghuni Lain

Mengingat bahwa mercusuar dibangun tahun 1882 oleh pemerintah Hindia Belanda, maka yang langsung terpikir adalah sebangsa dari dunia lain.
“Di sini ada penampakan, enggak, Pak?”, saya sok-sokan tanya segala.

“Wah, Bu, kalau ada yang bisa lihat, macem-macem bentuknya. Ini kan penjara jongkok, Bu,” kata bapak Budi sambil menunjuk ke sebuah bangunan di belakang kami.
“Itu zaman dulunya untuk menyiksa tawanan. Kan ada perompak, atau penjahat yang ditangkap Belanda. Di luar sana, ada pemakaman orang Belanda yang meninggal di sini,” sambungnya lagi.

Saya pun melirik ke bangunan yang dimaksud. Sepertinya, dulu adalah sebuah rumah panggung, kemudian sekarang bagian bawahnya ditutup. Terbayang, deh, orang disiksa disuruh jongkok di bawah rumah. Kayak apa, tuh, rasanya?

pantai berbatu
pantai berbatu di pulau lengkuas
deretan kapal di pulau lengkuas
deretan perahu di pulau lengkuas

Pulau Kelayang

Dari rangkaian hop on hop island yang kami kunjungi secara cepat, Pulau Kelayang merupakan pulau terakhir. Sepertinya jaraknya tak terlalu jauh dari kota Tanjung Pandan dan pantai Tanjung Kelayang tempat kami berangkat tadi pagi.

Lagi-lagi kami merapat ke pulau berbatu lainnya, yang lebih luas daripada pulau Lengkuas. Ada beberapa jongko dan bangku istirahat untuk sekedar menikmati segarnya air kelapa muda langsung dari buahnya.
Dari salah satu spot pantai kami bisa melihat pulau Burung dari sisi yang berbeda. Foto-foto lagi, deh. Batu-batu ini entah berapa jumlahnya, setiap sudut tampilan batunya seolah berbeda.

Di belakang deretan warung kecil tersebut ada hutan dan penunjuk arah ke Gua Kelayang. Kami pun masuk ke hutan dan mengikuti penunjuk arah.
Kira-kira 100 m dan harus turun ke bawah, kami tiba di sebuah gua yang tembus ke pantai. Bongkahan batu setinggi rumah dan membentuk celah membuat decak kagum siapa pun yang melihatnya.
Air laut yang muncul di cerukan batu bening dan membuat penasaran untuk turun ke bawah menikmati kesegarannya.

Hari sudah semakin sore, sudah waktunya kami kembali ke pantai Tanjung Kelayang. Beberapa dari kami juga sudah puas berenang atau pun sekedar berendam di air laut yang bening.
Kami pun menaiki kapal kembali ke pantai, dan teman-teman yang tadi bermain basah-basahan mencari kamar mandi untuk bilas. Atau sekedar mengganti baju yang basah.

Pantai Tanjung Tinggi

Ketika kami sudah menaiki mobil travel, supir travel pun memberi saran untuk menuju pantai Tanjung Tinggi, untuk menikmati sunset.
Pantai ini rupanya menjadi salah satu spot lokasi shooting film “Laskar Pelangi”.
Begitulah, sebuah lokasi bisa terkenal karena dipakai sebagai lokasi shooting film. Seperti halnya area di sekitas gunung Bromo, untuk lokasi film “Pasir Berbisik”. Atau pulau Bali, untuk berbagai film.

Sesampainya di pantai, ada penanda berupa plakat yang mengingatkan bahwa dulu dipakai sebagai lokasi shooting film. Yang menarik ada sebuah batu, kira-kira setinggi bangunan dua lantai, bernama Batu Pepaya. Bentuknya memang mirip buah pepaya dalam keadaan berdiri, sih.

batu pepaya
batu pepaya

Kami menuju tepi pantai, naik dan agak meloncati berbagai batu, untuk akhirnya tiba di sebuah spot yang berada di atas air. Saya dan beberapa teman duduk-duduk saja di situ menunggu matahari terbenam. Apa daya, momennya tak sesuai harapan, karena langit mendung, sehingga matahari tertutup awan.

Penutup

Hari itu kami cukup puas seharian geowisata pulau berbatu berbagai bentuk dan ukuran. Permukaannya yang licin menjadi ciri tersendiri bentang alam khas di Pulau Belitung. Sepertinya menarik juga kalau lanjut ke Pulau Bangka. Ingin tahu juga, apakah pemandangan alam di sana sama dengan di Belitung.

Tinggalkan komentar