Kampung Adat Bena terletak Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada. Kota terdekat adalah kota Bajawa, ibukota Kabupaten Ngada, yang jaraknya 19 km ke arah Barat dari Kampung Adat Bena.
Setelah melalui perjalanan di jalan yang berkelok dan tak rata, tepat di ujung jalan yang lurus tampak gunung Inerie berbentuk piramida. Kampung Adat Bena memang terletak di kaki Gunung Inerie, 2.245 m dpl.
Hari sudah lewat ashar, ketika kami masuk ke kampung yang tidak tepat di tepi jalan raya. Kami turun dari bus lalu berjalan sebentar menyusuri jalan menurun menuju pintu masuk. Pemandangan menakjubkan tampak di depan mata, ketika matahari sore menerangi seluruh kampung dari sisi kanan.

Bentuk kampung memanjang arah Utara-Selatan. Susunan rumah terbagi di dua sisi menghadap ke ruang terbuka di bagian tengah kampung. Di latar belakang, gunung Inerie tinggi menjulang di sisi Barat.
Di sisi kanan paling dekat dengan jalan masuk ada sebuah rumah yang di sisinya tersusun tanduk kerbau. Di teras rumahnya tergantung aneka kain tenun ikat khas Bena untuk dijual. Kain tenun yang dipajang tidak lebar, sepertinya cocok untuk selendang.
Sepintas, tenun khas Bena bermotif mahluk mirip kuda atau hewan bertanduk.
Kami pun menuju sebuah rumah di sisi kiri yang berfungsi sebagai semacam kantor penerima tamu. Salah seorang wakil dari kami mengisi buku tamu atas nama kami semua dan memberikan donasi untuk pemeliharaan dan pelestarian kampung. Kami diberi selendang warna ungu bertuliskan Bena untuk dipakai selama ada di kampung, dan dikembalikan saat akan meninggalkan kampung.



foto bersama
Sejarah Kampung Adat Bena
Kami diterima oleh ketua kampung untuk menjelaskan sejarah kampung serta berbagai elemen yang ada di kampung Bena.
Kampung Adat Bena menurut bentuknya yang memanjang melambangkan bentuk kapal. Konon menurut kepercayaan leluhur, masyarakat kampung adat Bena datang menggunakan kapal dari laut Sawu dan menetap di lokasi sekarang.
Seluruhnya ada 9 suku yang ada di kampung adat Bena, yaitu suku Bena, suku Dizi, suku Dizi Azi, suku Wahto, suku Deru Lalulewa, suku Deru Solamae, suku Ngada, suku Khopa, dan suku Ago. Suku Bena merupakan suku tertua sehingga kampung ini diberi nama Bena.
Kalau diperhatikan ada 9 undakan yang menunjukkan jumlah suku tersebut. Setiap suku menempati pelataran dengan undakan yang berbeda. Selain dibedakan dari letak dan pelataran, pada detail atap pun ada perbedaan.
Untuk mencapai lapangan di tengah kampung, kami harus menaiki tangga batu. Terdapat beberapa elemen berbentuk bebatuan dan bangunan kecil ada yang mirip saung dan ada yang mirip rumah.
Bebatuan disusun berbentuk segi empat ternyata adalah makam leluhur dari masing-masing suku yang disebut tores barajo.
Sedangkan meja batu yang sangat lebar diperuntukkan untuk persembahan pada saat upacara adat. Tak ada penjelasan bagaimana batu datar berbentuk meja bisa disusun berhadapan demikian rapi. Itu sebabnya beberapa sumber menyebutkan bahwa Kampung Adat Bena menyisakan jejak megalitikum (zaman batu).



elemen batu di kampung adat bena, flores
Walaupun masyarakat Bena sekarang adalah penganut Katolik, tetapi kepercayaan leluhur masih sangat kuat. Mereka percaya bahwa Dewa Zeta merupakan pelindung mereka dan bersemayam di puncak gunung Inerie.
Di dekat susunan batu berdiri mirip menhir, didirikan pula pondok kecil beratap ijuk dinamakan bhaga, melambangkan leluhur perempuan. Bentuk bangunan mirip payung beratap serat ijuk dinamakan ngadhu, melambangkan leluhur laki-laki, berfungsi juga untuk menggantungkan hewan kurban pada saat upacara adat.
Bentuk Rumah Kampung Adat Bena
Seperti halnya hampir semua bentuk rumah tradisional di Indonesia, rumah-rumah di kampung Adat Bena berundak di bagian depan rumah. Di belakang rumah berbentuk panggung mengikuti kontur di area tersebut. Terlihat bahwa ada upaya selaras terhadap lingkungan, dan tempat-tempat berundak memanfaatkan batu.
Bagian depan rumah berupa teras yang dimanfaatkan untuk kegiatan menerima tamu, menenun dan memilah hasil bumi. Untuk diketahui, hasil bumi sekitar kampung adalah bercocok tanam kopi, vanili, dan kemiri. Sedangkan kaum perempuan diwajibkan bisa menenun, yang hasilnya dijual ke wisatawan.
Bagian tengah rumah berbentuk huruf U, dipakai sebagai ruang makan, ruang bersama, dan ruang tidur anak. Sedangkan bagian tengah ada sebuah ruangan inti digunakan sebagai ruang tidur kepala rumah tangga, upacara adat, dan di sudut ruang terdapat dapur disebut lika.



menjemur biji kopi dan kemiri di halaman tengah kampung
Secara keseluruhan material rumah memperhatikan kearifan lokal menggunakan kayu, bambu, dan alang-alang. Struktur kolom rumah terbuat dari kayu, begitu pula lantai rumah terbuat dari papan. Sedangkan struktur atap menggunakan kayu, dan bambu untuk lapisan luar struktur atap.
Penutup atapnya sendiri memakai alang-alang yang khusus ditanam di sekitar Kampung Adat Bena. Material ijuk pun dipakai sebagai pengikat material bambu pada atap.

Gua Patung Bunda Maria

Panjang Kampung Adat Bena hanya sekitar 375 meter dan lebar 80 meter. Tetapi karena kontur tanahnya berundak sampai ke belakang, maka perjalanan cukup melelahkan juga bagi saya.
Di ujung belakang kampung ada pelataran naik lagi melalui tangga batu, sampailah kita di area yang dibangun gua kecil ditempatkan patung Bunda Maria. Pohon bougenville yang sedang berbunga menaungi gua dan sebuah pondok beratap alang-alang ada di belakangnya.
Ini merupakan tempat tertinggi, karena di balik saung terdapat lembah. Dari tempat ini kita bisa melihat seluruh kampung, yang memang mirip bentuk kapal.
Hari semakin sore, matahari makin merendah dan mulai menghilang di balik gunung Inerie. Sudah waktunya kami harus pamit dari kampung nan indah ini.
Jangan lupa, selendang harus dikembalikan.


Penutup
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami singgah dulu ke gedung Serba Guna yang ada tak jauh dari kampung.
Di gedung Serba Guna ini kami menonton sejenak tari-tarian yang diperagakan oleh adik-adik warga Bena. Mereka laki-laki dan perempuan lincah mengikuti rampak yang diperdengarkan dari audio.
Kami menonton sambil menikmati hidangan yang disiapkan oleh ibu-ibu, terdiri dari ayam yang dimasak mirip kari, sayur daun pepaya, pisang rebus, dan kopi. Baru sekarang ini saya menikmati kopi Bajawa yang terkenal.
Seorang bapak warga setempat tak segan-segan mengajarkan sejenak langkah-langkah kanan-kiri, maju-mundur. Putar ke kiri, putar ke kanan …
Beginilah keramahan khas warga Nusa Tenggara Timur, khususnya Kampung Adat Bena, Flores.
Sumber:
Kadafi, Muchammad Rizky; 2018; Bentuk Arsitektur Interior Rumah Adat Kampung Bena, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur; PROGRAM PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA.
https://gotripina.com/blog/kampung-adat-bena
https://issuu.com/adiutama/docs/flores/87