Salah satu itinerary grup Caraka, sebuah grup penelitian, adalah mengunjungi Keraton Surakarta Hadiningrat di kota Solo. Melalui teman di grup tersebut, kami boleh menemui kerabat keraton, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Wandansari, lebih akrab dengan nama panggilan Gusti Moeng, yang merupakan putri dari pasangan Sri Susuhunan Pakubuwana XII dengan Kanjeng Raden Ayu Pradapaningrum dari Kasunanan Surakarta.
Daftar Isi
Berkunjung ke Keraton Surakarta Hadiningrat
Waktu itu menurut ketua tim peneliti, janji temu dengan Gusti Moeng, disepakati pukul 11 siang. Sehingga kami pukul 09 pagi bersiap-siap mengunjungi keraton sambil mempelajari bangunan yang ada. Saya memang baru pertama kali ini ke Keraton, istana resmi Kesunanan Surakarta Hadiningrat, sedangkan Puro Mangkunegaran sudah beberapa kali.
Seperti kita ketahui di Solo, nama lain dari Surakarta, ada dua istana, yaitu Keraton Surakarta dan Puro Mangkunegaran. Tampuk pimpinan atau raja setelah zaman kerajaan Mataram adalah Sunan (Kesunanan) dipegang oleh Pakubuwono, sekarang Pakubuwono XIII.
Sedangkan Mangkunegaran dalam hirarki pemerintahan waktu itu levelnya adalah Kadipaten dan berada di bawah pemerintahan Kesunanan. Itu sebabnya bukan bernama Keraton, tetapi Puro Mangkunegaran. Sekarang pimpinan tertinggi di Mangkunegaran adalah Mangkunegara X.
Setelah Indonesia merdeka, serta raja-raja di Nusantara pun sudah tidak mempunyai kekuasaan wilayah lagi, keberadaan mereka memiliki peran untuk mempertahankan warisan sejarah dan budaya.
Walaupun demikian secara turun temurun dan adat, keberadaan Kasunanan dan Mangkunegaran ini masih sangat dihormati oleh warga Solo.
Keraton ini didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II sekitar tahun 1743-1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan pada tahun 1743. Dari sisi luasnya wilayah dan jumlah bangunan, Keraton Surakarta Hadiningrat memiliki beberapa bangunan yang letaknya berdekatan dan mempunyai level serta namanya berbeda-beda.
Berikut nama-nama bangunan atau fasilitas di Keraton Surakarta Hadiningrat:
- Alun-alun lor (utara)
- Sasana Sumewa
- Sitihinggil
- Kamandungan Lor
- Sri Manganti
- Kedhaton
- Magangan
- Kamandungan Kidul
- Sitihinggil Kidul
- Alun-alun kidul (selatan)
Sebetulnya tiap fasilitas juga ada bangunan-bangunan berupa bangsal, pendopo, pelataran, gerbang atau kori, selasar, atau lorong, yang juga diberi nama dan mempunyai fungsi masing-masing.
Waktu rombongan kami ke Keraton Surakarta ini, mula-mula kami diterima di Sasana Sumewa yang merupakan bangunan utama paling depan di Keraton Surakarta. Letaknya di sebarang Alun-alun lor, dulunya digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di depan Sasana Sumewa terdapat beberapa meriam kuno.



Kami pun masuk ke dalam, naik tangga, terdapat kompleks Sitihinggil. Dinamakan Sitihinggil karena kompleksnya dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya.
Di bagian tengah tangga terdapat tapakan batu yang berbeda dibanding anak tangga lainnya.
Konon tapakan batu ini digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala seorang pemberontak di masa Kesultanan Mataram.

Menapaki Kedhaton, Kompleks Utama Keraton Surakarta
Setelah cukup melihat-lihat bangunan di seberang Alun-alun utara ini, kami pun menyeberang kembali lalu diarahkan oleh Mas Nuki, salah seorang kerabat keraton yang mendampingi kami.
Menyeberang jalan yang ramai, melalui gerbang, sampailah kami di pelataran menuju kompleks Keraton Surakarta Hadiningrat lainnya.
Menurut catatan beberapa artikel, tempat ini bernama Kamandungan Lor, merupakan pintu gerbang keraton. Kompleks ini juga menjadi tujuan wisata, sehingga banyak rombongan dari berbagai penjuru yang membeli tiket.
Kami lalu diarahkan untuk menitipkan sandal atau sepatu sandal.
Sebelumnya ada miskomunikasi di antara kami, yaitu tentang dreskode dan alas kaki.


Dreskode masuk ke Keraton Solo maupun Puro Mangkunegaran, kalau perempuan tidak boleh memakai celana panjang, harus berupa rok panjang. Kalau batik, dilarang memakai motif batik lereng atau parang, karena motif ini hanya untuk kalangan kerabat keraton dan turunannya.
Sedangkan alas kaki, dilarang memakai sandal atau sepatu sandal, sedangkan sepatu tertutup, mau itu bentuk pantofel, kets, justru boleh.
Jadi segala bentuk sandal maupun sepatu sandal, mau mahal atau murah, harus dititipkan.
Kami pun tiba di pelataran berpasir di antara pohon-pohon sawo.
Area ini merupakan Kedhaton yaitu kompleks bangunan utama pada keraton Kasunanan Surakarta. Bagian halaman kedhaton berupa tanah berpasir yang berasal dari pantai selatan. Konon kata pemandu, kalau kita jalan di pasir tersebut dapat menghalau segala penyakit.
Dalam hati agak protes sih, teman-teman yang memakai sepatu tertutup malah boleh jalan-jalan di halaman berpasir. Sedangkan saya yang memakai sepatu sandal harus nyeker deh…hehe…
Sesudah mendapat penjelasan beberapa bangunan di sana dan berbagai filosofi Jawa, kami diarahkan menuju Museum Keraton, yang artinya ke luar lagi dari halaman dan boleh mengambil sandal yang dititipkan.
Di Museum Keraton kami mendapat penjelasan tentang berbagai barang peninggalan kerajaan zaman dulu, yang beberapa masin dipakai untuk acara ritual tertentu. Saya tertarik dengan beberapa maket bangunan yang ada di keraton Surakarta ini.


suasana museum keraton

Perjumpaan Dengan Gusti Moeng
Bersamaan dengan kami mendapat penjelasan tentang berbagai peninggalan kerajaan di Museum Keraton, mendapat info, bahwa Gusti Moeng bisa menerima kedatangan kami.
Maka kami bergegas kembali ke halaman dalam, dan tentu saja yang memakai sandal atau sepatu sandal harus menitipkan lagi. Khawatir nanti kami ke luar dari pintu lain, saya memutuskan menenteng saja sepatu sandal tersebut ke dalam.


Menuju ke halaman dalam di balik Panggung Sangga Buana
Kami menyeberangi halaman berpasir, melalui jalan setapak, melipir di bawah menara yang bernama Panggung Sangga Buana. Menara ini merupakan tempat meditasi raja dan untuk memantau benteng Vastenberg yang berada di timur alun-alun lor.
Sampai di dalam, ada lagi bangunan-bangunan dengan pendopo di depannya. Kalau menilik gaya arsitekturnya, ada bentuk arsitektur merupakan gabungan arsitektur tradisional Jawa dan penambahan pilar atau ornaman atap Hindia Belanda (Indisch).
Kami diterima di ruangan dengan beberapa kursi dan menunggu hingga diperbolehkan masuk ke ruang kerja Gusti Moeng. Cukup lama kami diterima oleh Gusti Moeng, dan banyak bercerita tentang leluhur beliau selama perjuangan melawan penjajah, serta bergabungnya Kasunanan dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Banyak kisah yang beredar memang tentang suksesi di lingkungan keraton yang bagi orang awam sulit untuk dicerna.

Setelah cukup berbincang dan melakukan tanya-jawab, Gusti Moeng pun membawa kami berkeliling di halaman dalam Keraton. Jujur, banyak banget bangunan di dalam keraton ini, yang sayangnya tidak dijelaskan secara detail nama-nama dan fungsi bangunannya.

Setelah cukup berbincang dan mendapatkan penjelasan sejarah yang sangat panjang lebar, kami diarahkan untuk ke luar dari keraton. Benar saja, kami memang ke luar dari arah yang berbeda. Untung saja, alas kaki saya tenteng dan disimpan rapi di keresek dalam ransel.


Kalau di Wikipedia nama bangunan ini adalah Kori Sri Manganti, letaknya bersebelahan dengan Menara Panggung Sangga Buana. Kami tadi ke luar dari pintu warna biru tersebut.

Penutup
Bangunan-bangunan di lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat, secara fisik terlihat kusam karena dimakan usia. Bangunan utama yang usianya ratusan tahun ini terlihat terseok mempertahankan eksistensinya tergerus zaman.
Lingkungan istana, baik Keraton Kasunanan maupun Puro Mangkunegaran berperan pada upacara adat maupun ritual agama yang disambut antusias oleh masyarakat Solo dan sekitarnya.
Sebenarnya saya ingin bertanya lebih detail tentang arsitektur, langgam, konsep, maupun fungsi tiap bangunan. Sayangnya kami semua agak kurang bebas berbincang dengan Gusti Moeng, maupun pemandu yang tergolong kerabat keraton/abdi dalem. Di tahun 2025 ini masih terasa aura jarak antar lingkungan istana dengan warga/masyarakat biasa.
Semoga Keraton Surakarta Hadiningrat masih bisa bertahan di tengah modernitas, sebagai pusat informasi adat istiadat dan warisan budaya, terutama budaya Jawa.