Pada suatu hari ketika mengunjungi kota Solo, kami berkesempatan mengunjungi masjid tertua di kota Solo, bernama Masjid Laweyan Solo. Saya dan suami kalau jalan-jalan ke suatu kota selalu menyempatkan mengunjungi masjid bersejarah atau masjid yang mempunyai desain unik.
Sesuai namanya masjid ini memang terletak di kawasan Laweyan, tak jauh dari Kampung Batik Laweyan, salah satu dari beberapa kampung batik di kota Solo yang menjadi tujuan wisata.
Kami naik taxi online dan minta diturunkan di seberang masjid yang terletak di Jl. Liris No.1, Belukan, Pajang, Kec. Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57146
Jelajah Masjid Laweyan Solo

Masjid Laweyan Solo terletak di pojok jalan, tampak cantik dari seberang jembatan yang di bawahnya mengalir sungai kecil. Masjidnya kecil, berbentuk persegi panjang, dengan atap seperti rumah tradisional Jawa. Letaknya yang lebih tinggi dari tepi jalan membuat masjid ini terkesan anggun dan menonjol dibandingkan bangunan di sekitarnya.
Walaupun masih pagi ketika saya dan suami mengunjungi Masjid Laweyan Solo, tetapi kota Solo panasnya menyengat dan silau.
Kami pun menapaki undakan di depan masjid melalui gerbang bercat hijau toska, melalui halaman yang tidak luas, menuju pintu utama masjid. Dari depan masjid ini ada tiga pintu masuk, satu pintu utama berupa gapura yang besar, lalu dua pintu mirip gapura kecil di kiri dan kanan.
Menurut informasi yang saya peroleh, Masjid Laweyan berdiri di atas lahan seluas 162 meter.
Belum ada penjelasan atau data lengkap apakah bentuk masjid ini sejak dibangun dalam kondisi seperti sekarang. Sepertinya telah mengalami beberapa kali renovasi.
Berbeda dengan Masjid Agung Demak yang dibangun tahun 1479, sejak awal beratap tajuk (susun) tiga.
Masjid Laweyan Solo menurut data lisan dibangun 1546, di masa pemerintahan Kerajaan Pajang, beratap tumpang berbahan genteng dengan detail nok di ujung-ujung atas atap. Untuk menuju halaman masjid, kita harus naik undakan dulu dan melewati gerbang bercat hijau tosca.


Masjid yang asal mulanya bentuk arsitektur tradisional dilengkapi dengan serambi sebagai ruang tambahan shalat. Deretan delapan kolom kayu bercat hijau muda merupakan struktur serambi.

Di kanan masjid ada tempat wudhu, toilet, ruang marbot. Sedangkan di kiri masjid, ada perpustakaan, kemungkinan ruang pawestren (ruang shalat perempuan).
Sekeliling serambi tertutup semacam roster berbentuk bulatan-bulatan. Kalau menilik bentuknya, sepertinya roster ini tambahan.
Terdapat bedug yang bentuknya unik, tidak bulat sempurna, tetapi agak benjol.

Pintu kaca ruang utama waktu itu tertutup, tapi saya bisa membukanya dan menyempatkan foto-foto ruangannya.
Di ruang utama lah baru jelas, bahwa masjid ini memang atapnya tajug (susun) dengan empat kolom utama menahan atap tajuk. Deretan jendela di atas membuat ruangan masih cukup terang.


Mihrab di depan polos tanpa ornamen berlapis keramik. Sedangkan di depan kanan ada semacam kursi hijau berukir dilengkapi meja kayu, sepertinya dipakai sebagai meja untuk khutbah.
Ruangan ini dilengkapi AC, jendela di kanan-kiri mihrab pun tertutup rapat. Itu sebabnya waktu saya intip ke ruang utama, hawanya terasa lembap karena tidak ada sirkulasi udara segar.
Sejarah Masjid Laweyan Solo
Kawasan Laweyan memiliki sejarah panjang, bermula hijrahnya Kyai Ageng Henis, dari Selo ke Pajang. Kyai Ageng Henis adalah putra dari Kyai Ageng Sela, keturunan raja Brawijaya V, juga seorang pemuka agama Islam, saat awal-awal syiar Islam di tanah Jawa.
Menurut penjelasan lisan, Kyai Ageng Henis bermukim di Laweyan sekitar tahun 1540. Selain mengajarkan agama Islam, beliau juga mengajarkan teknik batik tulis kepada santri-santrinya.
Di halaman rumah penduduk di desa-desa sekitar kawasan ini banyak ditanam pohon kapas untuk diolah menjadi benang yang disebut lawe. Itu sebabnya kawasan ini disebut Laweyan. Laweyan kemudian menjadi pusat perdagangan karena letaknya yang strategis, tepat di tepi Sungai Banaran yang langsung terhubung ke Sungai Bengawan. Di lokasi ini pula terdapat pelabuhan perahu yang jadi jalur perdagangan komoditas benang lawe dan batik.
Kyai Ageng Henis menjalin persahabatan dengan seorang pendeta agama Hindu di kawasan tersebut yang muridnya cukup banyak. Berkat persahabatan mereka dan sering berdiskusi, di kemudian hari pendeta Hindu ini pun memeluk Islam dan mengganti nama menjadi Kyai Ageng Beluk.
Pura tempat pemujaan agama Hindu kemudian menjadi masjid yang diberi nama Masjid Laweyan.
Konon Kyai Ageng Henis mempunyai putra bernama Kyai Ageng Pemanahan, pendiri dinasti Kerajaan Mataram.
Kawasan Laweyan ini di masa Kolonial dikenal sebagai Kampung Batik Laweyan dan di awal tahun 1900-an menjadi pusaran didirikannya Serikat Dagang Islam. Dalam sejarah perjuangan, Serikat Dagang Islam mengkoordinir saudagar batik untuk berjuang melawan Belanda.
Penutup
Mengunjungi masjid tua atau masjid kuno di Indonesia sudah kami lakukan dalam beberapa kesempatan. Ada yang memang sengaja untuk berkunjung ke masjid tersebut, ada yang tidak sengaja mendapat informasi dari warga setempat.
Secara kasat mata masjid-masjid ini terlihat sederhana, bentuk arsitekturnya pun mengadop dari bentuk arsitektur tradisional. Tidak ada unsur kemegahan tetapi kita justru melihat keagungan tersembunyi di dalamnya. Rata-rata terbuat dari kayu, sebagi ciri kearifan lokal.
Melalui masjid-masjid ini saya jadi belajar, betapa dulu orang bersusah payah untuk menyampaikan syiar agama yang waktu itu merupakan agama “baru” kala masyarakat sekitar masih memeluk Hindu.
Semoga bermanfaat.
Sumber:
https://duniamasjid.islamic-center.or.id/1101/masjid-laweyan/
https://kampoengbatiklaweyan.org/2024/03/26/3-fakta-menarik-tentang-masjid-laweyan-solo/
https://garis.my.id/keunikan-masjid-laweyan-solo/