Berkunjung ke sebuah kota tidak lengkap bila tidak mengunjungi Museum di kota tersebut.
Pada suatu hari saya ikut suami yang tugas mengajar di Pasca Sarjana ISI Surakarta.
Sehari sebelum pulang ke Bandung, masih ada waktu untuk mengamati obyek wisata yang ada di kota ini.
Sebetulnya tidak ada rencana untuk berkunjung ke Museum Radya Pustaka yang lokasinya di sebelah Taman Hiburan Sriwedari.
Kebetulan saya dan suami google search obyek wisata apa saja yang bisa dicapai dengan berjalan kaki.
Ada Museum lain yang tidak jauh juga, yaitu Museum Batik Danarhadi. Tetapi saya sudah 2 kali ke sana, dan di Museum ini ada peraturan tidak boleh foto-foto.
Akhirnya kami melangkahkan kaki ke Museum Radya Pustaka, jalan Slamet Riyadi, Solo.
Tiba di halaman Museum, ada patung Ronggowarsito, yang merupakan pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta, tahun 1802-1873.
Patung ini diresmikan oleh presiden Soekarno pada tahun 1953. Di depan dan di belakang patung ini terdapat prasasti yang menggunakan aksara Jawa.

Daftar Isi
Jelajah Museum
Museum ini tidak terlalu besar karena hanya berupa sebuah bangunan tunggal model rumah lama, berdiri simetris di tengah halaman, dengan gaya arsitektur campuran.
Menurut penjelasan Wikipedia, gedung museum awalnya merupakan rumah kediaman seorang warga Belanda bernama Johannes Busselaar. Bangunan ini juga memiliki nama lain yakni Loji Kadipolo.
Museumnya didirikan pada masa pemerintahan Pakubuwono IX oleh Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV di dalem Kepatihan pada tanggal 28 Oktober 1890. Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV sendiri pernah menjabat sebagai Patih Pakubuwono IX dan Pakubuwono X.

Kami masuk ke dalam menaiki tangga terlebih dahulu menuju teras depan, dan diminta mengisi buku tamu untuk data pengunjung.
Di teras depan ini, pintu masuk terdiri dari 3 pintu berdaun pintu ganda. Berwarna putih-biru berornamen dicat emas.

Menilik bentuk denahnya, bangunan ini berbentuk simetris mempunyai 3 lapis ruangan memanjang dan melebar. Bagian tengah merupakan ruang sirkulasi.
Gedung museum dibagi menjadi beberapa tema, seperti Ruangan Wayang, Ruangan Tosan Aji, Ruang Arca berbagai ruangan lainnya.
Lapis pertama, kiri-kanannya diisi dengan susunan meja-kursi yang diberi petunjuk dilarang duduk.
Ada rak-rak etalase kaca yang memamerkan berbagai benda yang pernah dipakai raja Surakarta kala itu.

Lapis kedua, bagian tengah ada patung setengah badan, di kanan merupakan ruang wayang kulit, dan sisi kiri merupakan ruang pecah belah.
Salah satu ruangan merupakan Ruang Perpustakaan yang dikhususkan untuk menyimpan manuskrip kuno dalam aksara Jawa Kuno.
Seperti halnya ruang-ruang khusus di dalam sebuah Museum, beberapa ruangan memang diberi AC untuk melindunginya dari kelembaban dan debu yang dapat merusak benda-benda tersebut.

Masuk lagi ke dalam ada ruangan cukup luas yang dipakai sebagai ruang gamelan.
Gamelan merupakan alat musik tradisional yang terbuat dari berbagai logam, perunggu, besi atau kuningan.
Biasanya seperangkat gamelan merupakan susunan dari berbagai alat musik, seperti kendang, rebab, gender, bonang, kenong, ketuk, kempul, gong, dan lain-lain.

Di kanan ruangan gamelan, ada ruang kecil yang diberi penghalang dilarang masuk.
Di dalamnya ada beberapa patung, yang entah kenapa saya koq merasa seram.
Sebuah patung bermata mengkilat dan berhidung besar menampilkan kesan garang. Ternyata patung ini dulunya merupakan patung yang diletakkan di buritan kapal besar Surakarta, yaitu perahu Rajamala (dibaca Rojomolo).
Konon menurut kisah, Rojomolo merupakan tokoh legenda raksasa penguasa laut.

Di belakang patung tersebut ada sebuah patung kuda polos terbuat dari kayu, tanpa ukiran mata hidung maupun mulut, tetapi justru patung ini seperti punya nyawa.
Halah…mungkin sugesti saya saja. Mungkin karena sorotan lampu yang membuatnya ada bayang-bayang.
Tetapi sebelumnya sih saya jarang merasakan yang aneh-aneh bila ke Museum.
Di ruangan ini dipamerkan maket dari perahu Rajamala. Aslinya, perahu ini panjangnya sekiar 70 meter dengan lebar 7 meter. Luar biasa kan kemajuan teknologi tahun 1800-an awal sudah bisa membuat perahu sebesar itu. Uniknya lagi kapal ini juga dilengkapi dengan seperangkat gamelan yang ditabuh selama perjalanan. Tuh kan, kurang keren apa lagi?

Ruang berikutnya di bagian belakang Museum, merupakan ruang pamer beberapa manekin pria berpakaian adat Jawa. Saya baru tahu, bahwa berbagai desain tersebut ternyata ada makna dan ketentuan kapan saja baju-baju tersebut dipergunakan.
Bahkan ada ketentuan siapa yang boleh dan tidak boleh memakai baju tersebut.
Walah, saya keliru, saya pikir baju-baju adat tersebut hanya dipakai pada upacara adat pernikahan saja.

Di sebelah kanan deretan manekin tergantung beberapa contoh desain corak batik, makna yang terkandung di dalamnya dan ketentuan kapan kain-kain itu dipakai.
Masih ada lagi obyek-obyek yang dipamerkan, yaitu perhitungan kalender Wuku Jawa, yaitu tahun-tahun kelahiran. Seperti halnya Shio dalam kalender Tionghoa.
Kemudian di sisi belakang, sebuah maket Makam Imogiri, yang merupakan makam bagi turunan Raja Jawa.
Ada pula ruangan Perpustakaan, yang rupanya menyimpan berbagai buku-buku kuno dan hasil penelitian tentang Raja-raja Jawa.
Saya pun melanjutkan langkah saya ke sisi luar Museum, yaitu sebuah halaman luar kecil dan lorong samping yang digunakan sebagai ruang pamer berbagai arca dan batu nisan.
Jadi sirkulasi ke luar Museum di atur dari halaman samping ini.
Penutup

Setelah puas melihat-lihat isi Museum, saya pun kembali mengikuti alur sirkulasi semula untuk sampai ke teras depan.
Masih ada beberapa foto lagi yang saya ambil, antara lain, sebuah prasasti di atas pintu, bahwa bangunan ini ternyata didirikan tahun 1820.
Mengunjungi Museum bagi saya adalah mempelajari segala hal yang telah dilakukan umat manusia sebelum saya. Banyak hal yang dapat saya pelajari dari berbagai benda-benda yang dipamerkan, ada cerita bahwa sebuah bangsa ternyata tidak bisa lepas dari sejarah masa lalunya.
Saya pun baru tahu bahwa Museum Radya Pustaka ini merupakan museum pertama yang dibangun bangsa Indonesia.
Yuk…ke museum mana lagi nih kita…