Perubahan Nama Jalan Penanda Perkembangan Kota di Bandung

Saya sudah lama banget menetap di Bandung, walaupun secara asal-usul bukan berasal dari suku Sunda. Dari Bandung masih sepi dan dingin, yang sekarang Bandung macet parah dan panas gerah, tapi saya tetap betah…

Kalau disuruh memilih, kembali ke Jakarta ngumpul dengan saudara seperti dulu, saya kok memilih Bandung, sih. Semacet-macetnya Bandung, kemana-mana masih dekat, masih bisa ditempuh jalan kaki atau sekali naik angkot. Udah gitu, tuntutan pekerjaan sebagai pengajar, saya jadi banyak belajar tentang sejarah kota Bandung.

Sejarah Tata Kota Bandung

jalan raya pos
sumber: wikipedia

Dulu ketika Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan membangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan sepanjang 1000 km. Dari Anyer menuju Jakarta, berbelok ke Bandung, melalui Cianjur lalu Cimahi, alih-alih lanjut ke Bekasi-Karawang-Purwakarta.

Kenapa tidak melewati Bekasi tetapi memilih berbelok ke Bogor? Hal itu terkait dengan banyaknya perkebunan kopi di sekitar wilayah Bogor hingga Sumedang.

Sedangkan saat itu kopi merupakan komoditas andalan yang harganya mahal dan menjadi sumber pemasukan bagi Pemerintah kolonial.

Benar sih apa yang dikatakan oleh seorang teman bloger ketika blogwalking di artikel tentang Jalan Braga Bandung, bahwa Belanda dulu niatnya investasi di Indonesia.
Ya kan, awalnya VOC adalah perusahaan dagang, singkatan dari Vereenigde Oostindische Compagnie (Persatuan Perusahaan Hindia Timur).

Itu sebabnya, pemerintah Hindia Belanda sempat mempunyai rencana memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia, ke Bandung. Sedangkan Batavia tetap jadi pusat perdagangan dengan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan utamanya.

Bandung secara resmi didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, dibawah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 25 September 1810. Daendels sendiri sebenarnya adalah gubernur jenderal yang mewakili Perancis, karena saat itu Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis.

Salah satu yang mendapatkan status pemerintahan otonom atau gemeente itu adalah pembentukan Gemeente Meester Cornelis dan Gemeente Buitenzorg pada 1905. Menyusul Gemeente Bandung yang dibentuk berdasarkan ordonansi tanggal 21 Februari 1906.

Lalu, bagaimana perkembangan jalan di Bandung?

Perubahan Nama Jalan Penanda Perkembangan Kota di Bandung
peta kota Bandung, 1920

Waktu itu, pusat kegiatan dan jalan utama memang berpusat seputar Jalan Raya Pos yang dibentuk Daendels, selanjutnya berhubungan dengan jalan-jalan kampung dan desa.

Ditambah lagi kalau melihat peta 1825, jalan-jalan di kota Bandung hanya berada di sekitar pendopo Kabupaten dan Alun-alun, yaitu Jalan Dalem Kaum, Jalan Asia-Afrika, Jalan Banceuy, Jalan Braga dan Jalan Wastukencana hingga Balai Kota, Jalan Merdeka, Jalan Oto Iskandar Dinata, Jalan Cibadak, dan Jalan Pungkur.

Perkembangan Kota Abad 20

peta kota Bandung
master plan kawasan Gedung Sate dan perumahan di sekitarnya, sumber: Prospectus voor de Uitgifte van Gronden, 1923

Walaupun rencana tinggal rencana, masih ada jejak artefak, bahwa pemerintah Hindia Belanda waktu itu memang sungguh-sungguh merencanakan tata kota.

Seorang insinyur lulusan Delft Polytechnische School (pendahulu Universitas Teknologi Delft) di Belanda bernama Herman Thomas Kartsten lah yang didapuk menjadi planner (perencana kota) di Hindia Belanda.

Boleh dibilang Indonesia sebagai daerah jajahan menjadi ladang praktek insinyur dari Delft yang uji-coba merencanakan tata kota dan merancang objek arsitektur.

Nanti kapan-kapan saya tulis deh, siapa saja arsitek lulusan Delft yang berkarya di Indonesia.

Mereka rata-rata insinyur baru lulus yang tertarik mencari pengalaman di daerah tropis sambil menghindar Perang Dunia I yang terjadi di Eropa.

Karya Karsten di Kota Bandung

Catatan Wikipedia, Karsten diberi tanggung jawab antara tahun 1915 dan 1941, untuk merencanakan 12 dari 19 munisipalitas di Jawa, 3 dari 9 kota di Sumatera, dan 1 kota di Kalimantan (Borneo Indonesia).

Kota-kota di Indonesia yang masih terlihat jejak karya Karsten adalah di Bandung, Malang, Bogor, wilayah Jatinegara di Jakarta (Gemeente Meester Cornelis). Kemudian tata kota Semarang, Magelang, Madiun, Yogyakarta, Surakarta (Solo), Purwokerto, Padang, Medan, dan Banjarmasin.

Bagi teman-teman yang pernah menetap atau berkunjung ke Bandung dan Malang, mungkin terasa vibesnya bahwa kedua kota ini mirip bentukannya. Malang dirancang tahun 1930-1935, sedangkan Bandung tahun 1941-1942.

Ciri khas perencanaan Karsten bisa diamati, selalu ada taman di antara cluster perumahan. Desain seperti ini meniru dari Konsep Garden City yang populer di awal abad 20.

Pada waktu itu pembagian wilayah atau distrik ada yang berdasarkan etnis, nama pulau, nama sungai, nama gunung, nama buah, nama sayur, nama burung, bahkan nama tokoh-tokoh wayang atau kisah legenda.

Pembagian menurut etnis memang disengaja oleh pemerintah kolonial sebagai salah satu cara memecah belah Indonesia.

Jadi ada wilayah Kauman untuk orang Arab, biasanya sekitar masjid. Pecinan, untuk orang Tionghoa, di kawasan perdagangan. Ada pula Kampung Jawa, Kampung Ambon, Babakan Surabaya, Babakan Ciamis, dan lain-lain.

Nama-nama Jalan di Bandung

Penamaan jalan pun demikian. Bila melihat peta kota zaman kolonial, yang bisa diakses di situs disc.leidenuniv.nl, colonialarchitecture.eu, dan collectie.wereldculturen.nl.

Kita bisa langsung notice dari bentuk jalan dan distriknya. Misalnya sekitar Gedung Sate, ada kawasan nama-nama sungai di Indonesia.

Ada jalan Ciliwung, Citanduy, Cilamaya, Progo, Cimanuk, Citarum, Cisangkuy, Cimandiri, dll.

Kemudian agak ke selatan, ada jalan Riau, Halmahera, Ambon, Seram, Banda, Lombok, Sumbawa, Bali, Sumatera, Nias, dan lain-lain.

perubahan nama Jalan
peta perumahan sekitar jalan Riau (sekarang jalan LLRE Martadinata) & nama pulau & nama buah di Indonesia, Sumber: Prospectus voor de Uitgifte van Gronden, 1923

Di sekitar Masjid Agung, ada nama Dalem Kaum, berasal dari kauman, area orang Arab. Kemudian ada jalan ABC, merupakan singkatan dari Arabieren (A), Boemipoetra (B), Chineezen (C), menurut sejarah nama tempat tinggal tiga etnis utama di situ.

Sekitar Rumah Sakit Hasan Sadikin yang bersebelahan dengan Bio Farma, dikelilingi oleh jalan-jalan dengan nama-nama dokter pribumi dan Belanda yang berjasa di bidang kesehatan di Indonesia.
Misal, Dr. Cipto, Dr. Hatta, Dr. Nyland, Dr. Otten, Prof. Eyckman, Dr. Curie, Dr. Rajiman, Dr. Rum, dan lain-lain.

Peta kawasan kesehatan, Pasteurweg, Lembangweg, Tweede Lembangweg, dan Pasir Kalikiweg. Sumber: Bandoeng: Nieuwe Gemeentegrenzen, 1921

Nah, ternyata ada beberapa nama jalan di Bandung yang ganti nama.

Penggantian nama jalan untuk menghormati para tokoh pahlawan, peristiwa, sejarah, ataupun kebudayaan.

Berikut nama-nama jalan yang telah berganti nama:

  • Jalan Cipaganti diganti menjadi Jalan R.A.A Wiranatakusumah
  • Jalan Pasirkaliki diganti menjadi Jalan H.O.S Cokroaminoto
  • Jalan Kopo diganti menjadi Jalan K.H. Wahid Hasyim
  • Jalan Banteng diganti menjadi Jalan K.H Ahmad Dahlan
  • Jalan Kiara Condong diganti menjadi Jalan Ibrahim Adjie
  • Jalan Ciateul diganti menjadi Jalan Inggit Garnasih (Ciateul)
  • Jalan Pasteur diganti menjadi Jalan Dr. Djunjunan
  • Jalan Cikapundung Timur diganti menjadi Jalan Ir. Soekarno
  • Jalan Gasibu Barat diganti menjadi Jalan Majapahit
  • Jalan Cimandiri diganti menjadi Jalan Hayam Wuruk
  • Jalan Papandayan diganti menjadi Jalan Gatot Subroto
  • Jalan Riau diganti menjadi Jalan L.L.R.E. Martadinata
  • Jalan Dago diganti menjadi Jalan Ir. H. Juanda
  • Jalan Layang Pasupati diganti menjadi Jalan Layang Jalan Prof. Mochtar Kusumaatmadja
  • Jalan Tangkuban Parahu diganti menjadi Jalan Pelajar Pejuang

Perubahan nama jalan adalah bagian dari dinamika perkotaan dan sejarah yang terus berkembang. Ini adalah cara bagi kota untuk tetap relevan dengan perkembangan zaman dan untuk menghormati warisan sejarah serta budaya bangsa.

Penutup

Ada netizen yang pernah komentar di sebuah akun, mempertanyakan, kenapa, sih, ada nama-nama orang Belanda di jalan sekitar Rumah Sakit Hasan Sadikin.

Kan, sekarang sudah merdeka.

Tetap memasang nama orang Belanda, seolah menandakan kita masih terjajah. Mereka-mereka sejatinya adalah dokter-dokter yang memajukan dunia kedokteran terutama dalam pengembangan vaksin dan penyakit menular, bersama-sama dengan dokter pribumi.

Berbeda dengan Daendels, walaupun meninggalkan jejak berupa jalan Raya Pos Anyer-Panarukan sepanjang 1000 km, tetapi juga sejarah kelam bangsa Indonesia dengan sistem kerja rodi dan tanam-paksanya. Tentu saja tidak ada jalan bernama jalan Daendels…

ilustrasi daendels
ilustrasi Daendels ~1910, sumber: anonim

Ibarat pepatah, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.

Perubahan nama jalan di Bandung, dari nama sebelumnya menjadi nama-nama pahlawan atau tokoh, adalah cara kita mengenang jasa-jasa mereka dan perannya dalam sejarah Indonesia.

Contohnya nama Ir. Soekarno di jalan Cikapundung Timur itu, ada di samping Gedung Merdeka. Dalam sejarah, Gedung Merdeka menjadi saksi sejarah pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di tahun 1955.

Kemudian nama jalan K.H.Ahmad Dahlan menggantikan nama jalan Banteng, karena di jalan ini ada Rumah Sakit Muhammadiyah. Seperti kita ketahui K.H.Ahmad Dahlan adalah tokoh Muhammadiyah.

Nah, teman-teman, perhatikan tidak, kira-kira di kota tempat tinggalmu ada perubahan nama jalan, kah?

Semoga bermanfaat.

Artikel ini disertakan padaTantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblogbulan Agustus dengan tema “Sejarah Indonesia dari Sisi yang Berbeda”.

11 pemikiran pada “Perubahan Nama Jalan Penanda Perkembangan Kota di Bandung”

  1. Wah baca ini seperti belajar sejarah di sekolah dulu. Saya juga setuju kalau nama jalan menggunakan nama pahlawan/tokoh Indonesia saja. Karena alamat/jalan cenderung disebut-sebut diberbagai kesempatan, sehingga nama-nama tersebut akan terasa familiar bagi semua umur dan kalangan.

    Balas
  2. Ini seperti time travel buat saya. Hal-hal yang bersifat sejarah, meskipun itu nama-nama jalan, rasanya sangat berarti dan membuat saya merasakan nuansa histoti yang humanis dan bermakna.

    Balas
  3. Menarik sekali membaca sejarah tuh. Yah, meski sejarah Indonesia juga berkaitan sama kerja rodi yang bikin sakit hati.
    Soal perubahan nama jalan, kalau di desa mah nggak terlalu ada ya. Bahkan di desa tuh nama jalan kadang ya dari nama desanya.

    Balas
  4. Aku jadi sering bolak balik bandung semenjak anakku kuliah di sana. Jangankan bandung, puncak aja gak dingin sekarang. Dulu ke puncak mah menggigil sekarang biasa aja. Klo ke Bandung pas weekend terkadang rada mumet. Macet. Apalagi arah Lembang. Baca ini makin jadi belajar sejarah mengenai bandung tempo dulu dan sekarang hehe

    Balas
  5. Seneng banget baca artikel ini. Secara saya paling suka mengulik sejarah. Apalagi banyak hal yang menyangkut proses dan banyak perubahan yang terjadi dari masa ke masa di beberapa kota bersejarah di Indonesia. Termasuk pergantian nama jalan di Bandung.

    Mbak Hani, coba baca buku yang berjudul “Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia” yang ditulis oleh Emile Leushuis. Bandung adalah salah satu kota yang diulas begitu mendalam selain Medan, Jakarta, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, dan Malang. Sederetan kota yang banyak menyimpan jejak-jejak kekuasaan Belanda lewat bangunan, nama jalan, dan lahan-lahan yang dulu jadi fokusnya VOC.

    Balas
    • Terima kasih Mbak Annie. Aku coba cari buku tersebut deh…
      Memang kalo ngulik sejarah, jadi panjang sambung-menyambung. Tapi seru kalau ada bukti artefaknya.

      Balas
  6. Nambah ilmu, baru tahu kalau jalan ABC itu singkatan dari Arabieren (A), Boemipoetra (B), Chineezen (C), dulu saya kira itu jalan karena iklan brand tertentu. Hehe…

    Bandung memiliki sejarah yang sangat komplit ya. Tidak heran kalau dulunya itu banyak diincar pejabat kolonial secara lokasinya strategis dan kondisi alamnya memang enakeun

    Balas
  7. Jadi tau lebih mendalam sejarah Bandung, yg selama ini lebih di higlight kaya wisata dan kulinernya. Ternyata kilas baliknya nama jalan jg tak kalah menarik. pola perubahan nama jalanpun biasanya disesuaikan dengan karakteristik dari suatu wilayah tersebut

    Balas
  8. Asyik banget membaca sejarah perkembangan nama-nama jalan di Bandung ini.
    Dan walau ada nama-nama orang Belanda dipakai sebagai nama jalan, tentunya nama-nama ini adalah orang yang punya jasa bagi warga/kota Bandung ya mbak, bukan sembarang nama yang digunakan.

    Balas
  9. Penggunaan nama seseorang sebagai nama jalan, pastinya karena ada kontribusi positif atas nama tersebut ya. Dan perubahan nama yang terjadi tentunha bakal lebih mudah diingat dan penuh kesana sejarahnya

    Balas
  10. iya banget, ketika beberapa tahun lalu ke Malang, saya terheran-heran melihat kemiripan kedua kota ini
    Seperti jalan Dago yang mirip banget dengan salah satu kawasan di Malang

    Tentang perubahan nama jalan, sekarang saya lagi ngapalin
    Pernah ada undangan di jalan KH Ahmad Dahlan, eh gak taunya jalan Banteng
    trus sekeluar dari jalan jalan tol, saya pikir masuk jalan Mohamad Toha ternyata berganti nama jadi jalan H. Tatang Sumantri

    Balas

Tinggalkan komentar