Ketika saya dan teman-teman berkesempatan berwisata ke Flores, salah satu tujuan wisata kami adalah mengunjungi sebuah tempat, Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun.
Lepo Lorun dalam bahasa Sikka artinya “rumah tenun”, adalah sebuah Sentra Tenun Ikat, terletak di desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Daftar Isi
Apa itu Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun

Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun dirintis oleh Alfonsa Horeng tahun 2003 karena kepeduliannya pada proses pewarnaan tenun ikat dengan pewarna alami. Proses pewarnaan kain dengan pewarna alami merupakan proses pewarnaan turun temurun yang mulai ditinggalkan oleh generasi sekarang. Padahal proses ini ramah lingkungan, karena tidak memakai pewarna kimia yang menimbulkan polusi.
Untuk mencapai Lepo Lorun sangat mudah, lokasinya hanya sekitar 7 km jaraknya dari kota Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka.
Begitu masuk ke area Lepo Lorun yang asri, ada beberapa bangunan terbuat dari kayu kelapa dan bambu beratap rumbia. Di salah satu bangunan tanpa dinding, tampak beberapa perempuan sedang menenun. Berbeda dengan alat tenun yang sering kita lihat, alat tenun bukan mesin (ATBM) ini bukan berbentuk meja. Akan tetapi merupakan alat tenun gendong, yang dikaitkan di pinggang. Penenunnya duduk di bawah beralaskan tikar, dengan kedua kaki lurus ke depan.
Di sisi lain dari bangunan ada pula perempuan yang mengikat benang dengan pola tertentu. Itulah sebabnya dinamakan tenun ikat, karena sebelum dicelup pewarna kain, benang-benang tersebut disusun di bingkai kayu kemudian diikat kuat dengan tali rafia atau plastik supaya tidak tembus air.
Setelah seluruh benang diikat kemudian dicelup ke warna yang diinginkan.
Proses Pembuatan Kain Tenun Ikat

Kain tenun ikat khas Flores dalah satu dari sekian banyak produk budaya tradisional khas Indonesia yang dibuat secara tradisional namun bernilai seni tinggi dan indah. Proses pembuatan produk warisan budaya khas pulau di bagian timur Indonesia ini melewati sejumlah proses yang memakan waktu hingga berbulan-bulan. Dibutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk menghasilkan sehelai kain tenun ikat dimana hampir semua proses pembuatan kain ikat tersebut dilakukan secara tradisional dan manual serta menuntut ketekunan dan kesabaran tinggi.
Pewarna alami tersebut diperoleh dari berbagai tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di lingkungan sekitar. Warna merah dan biru diperoleh dari daun mengkudu dan indigo. Sedangkan kulit pohon mangga dan kunyit menghasilkan warna kuning. Kulit kacang-kacangan akan menghasilkan warna kehijauan. Tanaman lain misalnya kayu hepang, dadap srep, dan kulit pohon mahoni akan menghasilkan warna yang berbeda lagi.

Warna-warna lain diperoleh dari daun dan akar mengkudu (warna merah), daun nira (warna biru), loba, kulit pohon cokelat, zopha, kemiri, dan masih banyak lagi.
Proses pewarnaan benang pun tidak sekali jadi. Pertama, benang katun yang sudah diikat motifnya direndam dalam air Ph netral selama 24 jam, kemudian dianginkan. Kedua, benang yang setengah kering tersebut direndam ke dalam larutan pembangkit warna (FeSO4) kemudian dikeringkan. Ketiga, benang yang sudah kering dicelup ke dalam warna yang diinginkan sebanyak 5 kali sampai warna benar-benar pekat. Langkah keempat, benang kemudian dicelup kembali ke larutan penguat warna supaya warnanya tidak luntur.
Ini baru proses pewarnaan. Bila dijumlah dari benang menjadi selembar kain tenun ikat membutuhkan proses hampir sebanyak 45 langkah. Semuanya memakan waktu berminggu hingga berbulan lamanya.
Itu sebabnya harga per lembar tenun ikat tidak murah. Semakin kompleks dan detail motif serta lebih dari satu warna, harganya semakin mahal.
Siapapun Terpesona Tenun Ikat


mulai menenun menggunakan alat tenun gedok
Seperti sudah saya ceritakan sebelumnya, bahwa alasan kami wisata ke Flores adalah untuk melihat langsung proses tenun ikat, sejak benang dipintal, diikat, dicelup, dan ditenun. Nah, kan, kita bukan hanya melihat-lihat saja, bukan. Termasuk ingin memilikinya barang selembar dua lembar kain.
Saya yang belum punya selembar pun kain tenun ikat asli Sikka, akhirnya terpikat juga, dan memilih selembar.
Agak bingung ketika saya memilih kain-kain tersebut, karena ukurannya tidak umum seperti halnya kain batik atau kain sarung.
Ada yang sudah terjahit berbentuk sarung, tetapi kenapa tinggi sekali? Kalau dipakai, bisa seluruh badan tertutup kain sarung. Tetapi ada pula yang berbentuk lembaran, tetapi kurang tinggi bila dipakai kain bawahan. Ya sudahlah, karena waktu memilih-milih tidak banyak, karena kami harus segera melanjutkan perjalanan, akhirnya saya memilih selembar kain selebar 70an cm, tetapi agak panjang.
Agak mahal, sih, Rp. 700ribu. Tetapi kalau melihat proses membuat kain tenun ikat yang puluhan langkah, memang harga tenun ikat rata-rata sekitar itu itu. Semakin kompleks dan detail motifnya serta lebih dari satu warna, harganya semakin mahal.
Kain tersebut lebar 70cm panjang hampir 4 meter, merupakan pengulangan motif @ 2 meter.
Kain saya bagi dua, setengahya 70cm X 2 meter, saya jual ke teman yang berminat.
Jadi jatohnya ya 350 ribu, cukup untuk satu sarung melingkar. Bagian atasnya bisa dijahit kain senada sehingga mencapai panjang sarung yang diinginkan sesuai dengan tinggi badan pemakai.
Penutup

Bagi Alfonsa Horeng pemrakarsa Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun (STILL), kegiatannya bukanlah sebagai kerajinan tangan semata, tetapi lebih pada pelestari warisan budaya nenek moyang.
Itu sebabnya di halaman Lepo Lorun juga disiapkan homestay sebanyak 3 kamar, untuk memberi kesempatan wisatawan yang berminat mengikuti workshop cara menenun langsung dari ahlinya.