Ketika Suatu Siang Wisata ke Kota Salatiga

Waktu itu kami ke Kabupaten Semarang karena teman saya menikahkan putranya. Acaranya di Sunrise Hill di Bandungan. Kami menyewa mobil rental dari kota Semarang dan rencananya hanya hadir akad nikah di pagi hari, kemudian wisata tipis-tipis ke kota sekitar. Wisata ke kota Salatiga menjadi pertimbangan kami, selain jaraknya dekat, saya belum pernah ke kota ini. Utamanya lagi, saya ingin menyambangi sebuah karya arsitektur, yaitu hotel unik yang pernah memenangkan award. Siapa tahu kapan-kapan saya bisa menginap di sana juga.

Sejarah Kota Salatiga

Dari berbagai media, tertulis bahwa kota Salatiga merupakan sebuah kota di Jawa Tengah yang sudah berdiri sejak 24 Juli 750 Masehi. Jadi di tahun 2025, kota ini sudah berusia 1275 tahun. Menurut catatan juga, Salatiga merupakan kota tertua kedua di Indonesia setelah Palembang yang berdiri sejak 682 Masehi.

Menariknya lagi di mengutip laman resmi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Salatiga juga meraih predikat kota paling toleran kedua di Indonesia pada tahun 2022 yang lalu. Sementara kota paling toleran di Indonesia adalah Singkawang.

Menilik sejarah perkotaan, Salatiga ketika masa kolonial tercatat sebagai tempat ditandatanganinya perjanjian antara Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said (kelak menjadi K.G.P.A.A. Mangkunegara I) di satu pihak dan Kasunanan Surakarta dan VOC di pihak lain. Perjanjian ini menjadi dasar hukum berdirinya Kadipaten Mangkunegaran.

Belanda di masa kolonial memang perannya dalam penataan kota cukup banyak, bersamaan dengan hadirnya beberapa lulusan arsitek dan city planner dari Universitas Delft yang berkarya di Indonesia.

Pada zaman penjajahan Belanda telah cukup jelas batas dan status kota Salatiga, yaitu diberlakukannya Stadsgemeente Salatiga berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266 mulai 1 Juli 1917 yang daerahnya terdiri dari 8 desa.

Gemeente adalah istilah dalam bahasa Belanda yang berarti kota dengan struktur administrasi yang otonom.

Sama halnya dengan kota Bandung yang statusnya pernah menjadi Stadsgemeente di era kolonial. Mungkin karena faktor geografis, udara yang sejuk, dan letaknya yang sangat strategis, yang disukai oleh orang Belanda.

Adanya sistem pemerintahan Gemeente seperti ini dan banyak orang Belanda yang menetap di Salatiga, maka banyak bangunan-bangunan lama yang didesain oleh orang-orang Belanda.

Pada masa itu Salatiga pun sempat mendapat julukan De Schoonste Stad van Midden-Java (Kota Terindah di Jawa Tengah).

Wisata Kilat Keliling Kota Salatiga

Hari menjelang lohor ketika kami hampir sampai ke kota Salatiga, selepas jelajah dari Candi Gedong Songo di Bandungan.
Kami pun mampir untuk makan siang terlebih dahulu, di sebuah Rumah Makan Sate Kambing Muda di daerah Blotongan, pas menjelang masuk ke kota Salatiga.
Suami memperoleh nama rumah makan tersebut dari Google Maps, yang katanya reviewnya lumayan. Mas Kris, driver yang mengantarkan, kami ajak serta untuk makan siang bersama.

Selepas makan siang, kami mencari masjid untuk salat lohor. Mas Kris, menawarkan ke Masjid Raya di kota Salatiga. Tapi kami yang ingin tahu bangunan unik di setiap kota mendapatkan di Google Maps, tertera Masjid Klenteng.

Mas Kris, dari hasil obrolan sepanjang jalan, ternyata sama-sama alumni jurusan Arsitektur di sebuah universitas di kota Semarang. Tapi karena merasa tidak up to date dengan kemajuan ilmu, akhirnya beralih mata pencahariannya mempunyai usaha rental mobil.
Tentu saja Mas Kris, senang dan ingin tahu juga kayak apa sih Masjid Klenteng.

masjid klenteng salatiga
masjid klenteng salatiga, sumber: hani

Tak lama, kami pun menemukan masjid tersebut. Tadinya saya menduga, dari namanya desainnya akulturasi dari masjid dan klenteng, mungkin ada sentuhan arsitektur klenteng. Ternyata hanya warna, sedikit ornamen dan bentuk atap yang menunjukkan ada pengaruh Arsitektur Cina.
Berhubung tidak ada siapa-siapa di sana, hanya seorang penjaga, sepertinya juga bukan marbot, kami pun mengambil wudhu dan salat di sana.

Masjidnya kecil, dominan warna merah dan kuning, pada kolom dan ornamen bentuk ornamennya bentuk baqua, kotak-kotak khas ornamen bangunan tradisional Tiongkok. Bentuk atap perisai dengan genteng berwarna hijau. Pada ujung-ujung atap dan nok ada ornamen melengkung seperti yang terdapat pada klenteng.
Hanya ada plank papan nama bertuliskan “Masjid Klenteng”. Dari hasil pengamatan sekilas, kami pun sepakat, sepertinya ini masjid desain baru, bukan warisan arsitektur zaman Kolonial.

masjid klenteng salatiga
masjid klenteng salatiga, sumber: hani

Sejenak Foto Pitu Rooms Hotel

Dari Google Maps, saya mencari bangunan yang sejak dari Bandung, sudah pesan ke suami, pengen lihat bangunan tersebut.

Bangunan yang saya incar tersebut adalah sebuah hotel, namanya Pitu Rooms, berada di pusat Kota Salatiga, tepatnya di Jalan Sukowati No 33.
Pitu artinya tujuh dalam bahasa Jawa. Iya, memang hotel tersebut hanya mempunyai tujuh kamar saja.
Hotel tertipis di Indonesia ini merupakan buah karya arsitek ternama Ary Indra. Di media sosial dan banyak foto di internet, segala fasilitas seperti tv, lemari, hingga toilet, lengkap berada di dalam kamar. Kamar-kamar hotel tersebut berukuran 2,4×3 meter.

wisata kota salatiga
hotel pitu rooms, sumber: hani

Sesampainya di depan hotel dan memarkirkan mobil, saya pun foto-foto sejenak bagian luar hotel. Dari trotoir langsung ke lobby kecil yang menyatu dengan counter cafe. Kita bisa mencicipi kopi sambil memandang orang yang lalu lalang.
Ketika saya minta izin untuk naik ke atas, tidak diperbolehkan oleh staf hotel. Hanya yang sudah booking saja yang diberi izin naik ke atas.

samping hotel pitu rooms
gang di samping hotel pitu rooms, sumber: hani

Informasi yang saya peroleh, ketujuh kamar di hotel itu berkapasitas tiap kamar untuk 2 orang. Kamar-kamar itu berada di lantai 2 hingga lantai 5. Sedangkan lantai 6 merupakan restoran dan lantai 7 adalah ruang instalasi yang hanya bisa dimasuki pegawai.

Setelah foto-foto bangunan, kamipun tak lupa mampir dulu ke sebuah toko oleh-oleh masih di Jalan Sukowati, yang kebetulan letaknya di depan sebuah Klenteng/Vihara Hok Tek Bio.

klenteng
klenteng/vihara Hok Tek Bio, sumber: hani

Sesudahnya Mas Kris pun membawa kami keliling-keliling kota Salatiga. Setiap ada spot bangunan lama, saya menyempatkan turun dan memotretnya.

Mendapat julukan kota toleransi kedua setelah Singkawang, ditandai dengan kebebasan penganut agama untuk saling hidup berdampingan dengan damai.
Beberapa bangunan yang sempat saya abadikan antara lain sebuah Gereja GPIB Tamansari yang dari bentuk dan gaya arsitekturnya merupakan peninggalan zaman Belanda juga.

gereja GPIB Tamansari
gereja GPIB Tamansari, sumber: hani

Penutup

Setelah puas foto-foto bangunan lama, sepertinya tidak ada lagi yang dilihat, kami pun bersiap untuk kembali ke kota Semarang.
Saya memang kalau jalan-jalan ke sebuah kota selalu tertarik dengan arsitektur heritage. Melalui sebuah bangunan lama tersebut saya jadi belajar banyak tentang sejarah, gaya arsitektur, tata letak bangunan, pemerintahan, perilaku masyarakat, dan banyak lagi.

Sesiang itu keliling kota Salatiga, ternyata tidak terlalu luas. Masih mudah mencari objek bangunan dan alamat berdasarkan peta Google.

Dalam perjalanan kembali ke kota Semarang, Mas Kris (MK) tiba-tiba menanyakan, apakah kami pernah minum susu kambing?

Me:”Pernah sih, tapi bentuk bubuk. Kalau segar belum pernah?”
MK:”Barangkali mau berkunjung ke peternakan kambing perah, punya kawan saya? Engga jauh dari sini tempatnya”

Hari menjelang ashar, akhirnya saya dan suami sepakat, kapan lagi…
Next ya, artikel kami berkunjung ke sebuah peternakan kambing perah.

Semoga bermanfaat.

Tinggalkan komentar