Bukit Jaddih, Madura, merupakan salah satu tujuan wisata pada acara SEMARNUSA (Seminar Arsitektur Nusantara) yang diadakan oleh Departemen Arsitektur FADP ITS. Dalam rundown acara, setelah seminar akan diselenggarakan Arsitek-Tour ke Kabupaten Bangkalan, Madura.
Pucuk dicinta ulam tiba, kebetulan saya belum pernah berkunjung ke Madura. Pernah sepintas, kira-kira beberapa tahun yang lalu, saya hanya menyeberang Jembatan Suramadu, bolak-balik. Waktu itu Jembatan Suramadu baru saja selesai.
Namanya juga Arsitek-Tour, tour atau wisatanya sekitar obyek arsitektur dan pesertanya biasanya dosen atau pemerhati pelestarian budaya serta lingkungan.
Menurut daftar acara, kami berangkat dari hotel pagi hari, menuju Desa Langkep, Kabupaten Bangkalan. Di desa tersebut terdapat bangunan lama, berupa rumah tinggal bergaya tradisional yang masih dipertahankan oleh pemiliknya.

Tujuan pertama adalah ke Desa Langkep, Kecamatan Burneh. Kemudian dilanjutkan ke Desa Sanggra Agung juga meninjau sebuah rumah tradisional.
Hari menjelang tengah hari, terasa perut keroncongan. Ternyata kami dibawa ke sebuah pesantren di Desa Janbu. Menurut Kyai Malik, pemilik pesantren, di kawasan pesantren tersebut juga terdapat rumah tradisional yang merupakan rumah yang dipindahkan ke pesantren. Di sini kamii dijamu makan siang Bebek Panggang khas Madura. Bumbunya lekoh, makannya dihidang botraman, di tengah. Makannya pakai tangan, lupa deh, nambah terus…


makan bersama dihidang di tengah ala botraman
Dari pesantren perjalanan dilanjutkan ke Bukit Jaddih, bukit kapur sepanjang 11 km terletak di Desa Parseh.
Daftar Isi
Ada Apa di Bukit Jaddih
Sepanjang jalan, pemimpin rombongan menjelaskan, bahwa menurut sejarah di masa penjajajah Jepang, area perbukitan sepanjang 11 km tersebut pernah menjadi tempat persembunyian para pejuang. Oleh karena itu dapat ditemui lubang-lubang gua yang dulu dipakai sebagai kamar persembunyian.
Tetapi tidak ada informasi akurat, apakah benar dulunya merupakan tempat persembunyian para pejuang. Informasi di internet hanya menjelaskan bahwa Bukit Jaddih hanyalah area penambangan batu kapur biasa.



bukit tambang kapur
Para pekerja dan alat berat secara terus-menerus mengeruk bukit kapur untuk kebutuhan industri dan bahan bangunan. Seiring berjalannya waktu, aktivitas ini tanpa sengaja menciptakan pola-pola unik dan tebing-tebing curam yang memukau. Cekungan-cekungan bekas galian juga terisi oleh air hujan, membentuk danau-danau kecil berwarna kebiruan yang sangat kontras dengan warna putih bukit kapur.

Bukit kapur ini telah bertransformasi menjadi salah satu destinasi wisata paling populer dan instagenic di Pulau Madura.
Ketika mobil-mobil yang kami kendarai sampai di Desa Parseh, dari kejauhan sudah terlihat bukit kapur yang menjulang tersebut. Putih kecoklatan, dan di sana-sini tampak lumut hitam dan beberapa pohon yang meranggas.
Kami pun berpapasan dengan truk-truk yang wira-wiri membawa hasil tambang batu kapur tersebut. Rupanya selain menjadi penambangan, ternyata kawasan Bukit Jaddih, Madura juga menjadi obyek wisata.

Begitu sampai di lokasi, setelah membayar retribusi, pemandangan menakjubkan terpampang jelas. Bukit-bukit kapurnya masih sangat putih, kontras dengan birunya langit, di tengah suhu 30 derajat C kalau menurut petunjuk ponsel saya. Di sana-sini sepanjang dinding kapur menjulang, ada beberapa tempat yang terpahat membentuk ruang-ruang seluas kira-kira 3X3 meter2.
Unik juga pemandangannya, walaupun cemas juga melihatnya, khawatir terban sewaktu-waktu.
Di beberapa tempat bekas galian membentuk kolam-kolam berwarna biru bening. Beda misalnya di tempat bekas galian, yang biasanya airnya berwarna hijau lumut atau coklat.
Sayangnya mobil yang kami kendarai tak sampai ke atas, karena jalannya terlalu terjal turun naik. Dikhawatirkan merusak mobil dan membahayakan para penumpangnya.
Akhirnya supir memutuskan patah-balik dan mencari lokasi lain yang tidak terlalu ke atas bukit. Mungkin bila kami naik motor bisa lebih lincah dan sampai ke puncak bukit. Tapi haree gene, dan panasnya audzubillah, tak ada yang berani nekat naik motor menjelajah. Kulit wajah pun terasa panas akibat sengatan matahari.
Kami pun berjalan kaki di bawah bayang-bayang tebing tinggi, dan tiba di tempat yang agak landai. Di sebelah kanan ada deretan ruang-ruang kecil yang dimanfaatkan sebagai los oleh-oleh setempat.
Sedangkan di seberangnya terbentang genangan air biru bening yang membentuk danau-danau kecil, akibat bekas galian tambang batu kapur.
Hampir setiap sudut di Bukit Jaddih adalah spot foto. Para pengunjung biasanya berburu latar belakang tebing-tebing kapur yang menjulang, berfoto di tepi Danau Biru, atau sekadar berpose di antara tumpukan batu kapur yang besar.


ruang batu kapur untuk toko oleh-oleh & foto dulu
Penutup
Meskipun areanya terlihat seperti destinasi wisata, penting untuk diingat bahwa Bukit Jaddih masih merupakan area pertambangan aktif. Sepanjang jalan terlihat tumpukan kapur dan mungkin alat berat yang sedang beroperasi. Menuju ke area bukit ini pun kita akan berpapasan dengan truk-truk pengangkut batu kapur dalam ukuran besar.
Waktu terbaik untuk berkunjung adalah pagi atau sore hari, saat cuaca tidak terlalu panas. Sinar matahari pagi atau senja dapat membuat warna putih bukit kapur terlihat semakin indah. Tidak seperti kami, kebetulan waktunya siang hari selepas lohor, maka harus memilih spot foto yang tidak menantang matahari.
Secara keseluruhan, Bukit Jaddih Madura adalah perpaduan unik antara hasil aktivitas manusia dan keindahan alam yang tak terduga. Tempat ini adalah bukti nyata bahwa di balik sisa-sisa industri, bisa tercipta sebuah lanskap baru yang memancarkan pesona eksotisnya tersendiri. Namun, selalu utamakan keselamatan saat berada di area ini.