Kampung Batik Laweyan, Hidden Gems Di Balik Dinding Tinggi

Pertama kali kami ke kawasan Kampung Batik Laweyan ini setelah mengunjung sebuah masjid kuno, Masjid Laweyan, di kota Solo. Selepas mengunjungi masjid tersebut, di seberangnya ada bangunan yang menjual batik dan di sampingnya ada jalan kecil dengan papan petunjuk Kampung Batik Laweyan. Kami pun masuk ke gang dan menyusuri di antara dinding tinggi rumah-rumah di sini. Berbeda bila kita menyusuri kompleks perumahan, maka rumah-rumah di Kampung Batik Laweyan ini berada di balik dinding yang ada sepanjang gang.

Kampung Batik Laweyan, Hidden Gems Di Balik Dinding Tinggi
gang menuju perkampungan

Sejarah Kawasan Laweyan

Kawasan Laweyan memiliki sejarah panjang, bermula hijrahnya Kyai Ageng Henis, dari Selo ke Pajang. Kyai Ageng Henis adalah putra dari Kyai Ageng Sela, keturunan raja Brawijaya V, juga seorang pemuka agama Islam, saat awal-awal syiar Islam di tanah Jawa.
Menurut penjelasan lisan, Kyai Ageng Henis bermukim di Laweyan sekitar tahun 1540. Selain mengajarkan agama Islam, beliau juga mengajarkan teknik batik tulis kepada santri-santrinya.

Kawasan ini disebut Laweyan, karena di halaman rumah penduduk di desa-desa sekitar kawasan ini banyak ditanam pohon kapas untuk diolah menjadi benang yang disebut “lawe“.

Laweyan kemudian menjadi pusat perdagangan karena letaknya yang strategis, tepat di tepi Sungai Banaran yang langsung terhubung ke Sungai Bengawan. Di lokasi ini pula terdapat pelabuhan perahu yang jadi jalur perdagangan komoditas benang lawe dan batik.

Industri batik di Kampung Laweyan mulai berkembang di abad ke-14 pada pasa pemerintahan Kerajaan Pajang. Oleh karena itu, berbagai artefak kejayaan industri batik di masa lalu mudah ditemukan di Laweyan.

Seiring waktu, pada era 1900-an, Laweyan melahirkan juragan-juragan batik yang melegenda dengan kekayaannya. Bukti kejayaan Laweyan di masa lalu terlihat dari adanya rumah-rumah para juragan batik yang megah bak istana. Tak hanya wisatawan domestik, Laweyan juga menjadi magnet wisatawan luar negeri untuk berkunjung.

Kawasan Kampung Batik Laweyan telah menjadi ikon batik Solo sejak abad ke-19. Kampung ini kian kondang seiring didirikannya Sarikat Dagang Islam oleh Haji Samanhudi pada tahun 1911.

Dengan kemunculan produk printing yang relatif murah dan proses produksinya sangat cepat mulai menyaingi pemasaran batik tulis dan batik cap. Satu persatu industri batik mengalami kebangkrutan dan pada tahun 2000an jumlah industri batik di Laweyan hanya menyisakan kurang dari 20 saja.

Pemerintah kota Solo pun menjadikan kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata dan juga termasuk kawasan cagar budaya, yang bisa dicapai dari Jl. Dr. Rajiman, Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Solo.

Penetapan kawasan menjadi cagar budaya dan menjadikan sentra batik di kota Solo, membangkitkan kembali giroh Solo sebagai kota batik. Berbagai wisata pun ditawarkan oleh Kampung Batik Laweyan,seperti wisata belanja, industri, cagar budaya, sejarah, edukasi, dan kuliner.

Penetapan Kawasan Kampung Batik Laweyan sebagai Cagar Budaya, karena di area ini masih banyak bangunan kuno bercirikan Arsitektur Tradisional Jawa.

Arsitektur Rumah di Kampung Batik Laweyan

Kita kalau ke Solo memang mindset-nya tak lepas dari batik. Jalan-jalan di pertokoan sering dijumpai toko-toko yang menjual batik.

Berbeda dengan yang ada di Kampung Batik Laweyan, yang seluas 24800 m2 ini terletak dalam kelurahan Laweyan. Kampung terbagi menjadi 8 wilayah yaitu Kwanggan, Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, Setono, Lor Pasar, Kidul Pasar, Kramat dan Klaseman.

Di sini lebih dari 50% rumah juga memroduksi hingga menjual batik sendiri. Proses membatik juga dilakukan di rumah tersebut, mulai dari membatik, proses pencelupan, melorot untuk menghilangkan lilin, hingga mengangin-anginkan kain batik tersebut.

Tidak sedikit rumah-rumah tersebut ditata sedemikian rupa dengan mengubah salah satu ruangan menjadi gallery batik atau workshop.

Menyusuri gang-gang di pagi menjelang siang itu, penanda bahwa ada kehidupan di balik dinding setinggi hampir 2.5 m adalah adanya pintu-pintu dengan berbagai desain.
Ada yang berukir, ada yang kayu asli, dicat biru, cat hijau, atau direnovasi menjadi semacam toko kecil dengan etalase menghadap ke gang.

Rumah dan gallery batik di balik dinding tinggi

Ada pintu yang terbuka lebar yang memperlihatkan ruangan dalam dilengkapi meja makan, lemari kaca berukir sebagai lemari memajang baju batik. Sungguh permata tersembunyi di balik gang-gang ini kita bisa menemukan desain-desain batik yang setiap rumah bisa melahirkan karya-karya original.

Berjalan beberapa langkah kemudian, saya menjumpai lagi dua daun pintu yang terbuka lebar sehingga memerlihatkan halaman dalam tempat proses pencelupan hingga tempat menjemur batik.

halaman dalam
halaman dalam di balik pintu

Pada sebuah jurnal tentang Laweyan terdapat penjelasan tentang Arsitektur Tradisional Jawa yang membagi rumah menurut zona-zona sebagai berikut:

ilustrasi pembagian ruangan rumah Kampung Laweyan, sumber: jurnal Setyoningrum & Pilliang
  • Regol, sebagai ruang perantara, seperti ruang tamu dan ruang keluarga. Ini membantu menciptakan batasan visual dan fungsional yang jelas dalam desain interior.
  • Pendhapa, biasanya merupakan ruang terbuka yang dikelilingi oleh tiang-tiang penyangga, sehingga memberikan kesan lapang dan nyaman. Atap pendhapa umumnya tinggi dan lebar, sering kali berbentuk limasan (atap segitiga) atau joglo (atap bertingkat), yang memberikan perlindungan dari sinar matahari dan hujan.
  • Ndalem, bagian rumah atau bangunan yang biasanya digunakan sebagai tempat tinggal utama atau ruang keluarga. Ruangan Ndalem memberikan privacy kepada pemilik rumah.
  • Senthong, dalam banyak rumah tradisional Jawa, senthong berfungsi sebagai ruang tidur untuk anggota keluarga. Ini memberikan privasi dan kenyamanan bagi penghuni. Senthong bisa juga berfungsi sebagai ruang keluarga.
  • Gandok, biasanya terletak di bagian belakang rumah atau di area yang tidak terlalu terlihat, dan sering kali digunakan untuk menyimpan peralatan, bahan makanan, atau barang-barang lainnya. Gandok juga bisa berfungsi sebagai ruang kerja.

Penutup

Waktu yang pendek belum memungkinkan saya untuk masuk ke dalam tiap rumah dan melalukan wawancara maupun eksplorasi, sehingga pengamatan pun hanya sekilas.

Di gang lain di depan sebuah bangunan yang bertuliskan 1939 pada dinding depan tampak sejoli melakukan foto prewed. Kami pun minta izin lewat depan mereka, sambil menyampaikan doa semoga pernikahan mereka langgeng.

foto prewed
foto prewed

Jalan-jalan menyusuri gang, walaupun teriknya Solo tak terasa karena terlindung di balik dinding, tapi perut mulai bernyanyi, nih. Akhirnya kami menemukan camilan khas Kampung Laweyan, yaitu ledre pisang.

Ledre pisang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan kelapa parut dan diisi dengan pisang. Camilan ini dimasak di wajan tanpa minyak, seperti membuat dadar, memiliki tekstur yang unik, yaitu renyah di luar dan lembut di dalam. Rasa ledre pisang manis dan gurih, dengan aroma pisang yang khas. Sayang waktu itu Mbak penjual belum membuat banyak, jadi pas, hanya menyisakan dua keping ledre untuk kami berdua, masing-masing seharga Rp11.000.

Ledre Pisang khas Laweyan

Tinggalkan komentar