Cerita Radio Kambing di Monumen Pers Nasional, Solo

“Mbak Hani mau ke mana lagi?”, begitu tanya teman bloger Solo, mbak Sitatur Rohmah. Enaknya kalau punya teman bloger di berbagai kota tuh, bisa silaturahmi dan kopdaran.
Beberapa kali saya ikut suami ke Solo karena dinas, saya main aja sama mbak Sita, atau istrinya teman kuliah, mbak Rini. Kalau sama mbak Sita, kami naik motor boncengan kemana-mana, mampir ke beberapa objek wisata, seperti Museum, Istana, masjid yang bentuknya unik, atau kulineran.

Sebelumnya saya ke Solo dalam rangka penelitian bareng teman-teman dosen dari berbagai perguruan tinggi, kemudian hasil penelitian tersebut disusun menjadi buku referensi atau book chapter. Ada satu dua objek yang terlewat, salah satunya adalah Monumen Pers Nasional.
Maka saya sampaikan ke mbak Sita, bahwa saya perlu data dan foto-foto, maka meluncurlah kami ke Monumen Pers Nasional.

Sejarah Monumen Pers Nasional

monumen pers nasional
monumen pers nasional

Kalau cek di internet, bangunan ini berwarna abu-abu, dan desainnya agak mirip-mirip candi gitu dari jauh, kriwil-kriwil. Makanya dalam bayangan saya bangunan tersebut besar atau bulky.
Sesampainya di seberang bangunan, mbak Sita menghentikan motornya, sehingga saya bisa memotret dari bunderan di seberangnya.

Bangunan yang beralamat di Jalan Gajah Mada 59, Surakarta, Jawa Tengah, di sudut Jl. Gajah Mada dan Jl. Yosodipuro, dari seberang ternyata tidak sebesar yang dibayangkan. Terlihat seperti bangunan berlantai dua pada umumnya.

Di bagian tengah fasad bangunan ada bentuk mirip stupa Candi Borobudur, kemudian di bawahnya bersusun ke bawah ada logo Garuda Pancasila, dan tulisan emas Monumen Pers Nasional.

Mbak Sita pun memarkirkan motor di halaman samping, lalu kami masuk dari depan, ada empat kolom berjajar, dan jendela kaca. Pintu berukir terletak di tengah. Pada tangga masuk ada patung kepala naga, yang saya kurang paham maknanya.

patung naga di tangga masuk

Di dalam ada lobby dan meja pendaftaran, kami pun diminta mengisi data di komputer yang tersedia di samping meja pendaftaran. Untuk masuk ke sini dan melihat-lihat tidak ada biaya.
Jam buka setiap hari kerja Senin-Sabtu mulai pukul 09:00-15:00, kecuali hari Minggu, tutup.

monumen pers nasional
layout gedung utama

Kami pun masuk ke ruang koleksi yang pintunya ada di samping lobby pendaftaran.
Kalau membaca di Wikipedia, walaupun bangunan ini bernama Monumen Pers Nasional, tetapi termasuk kategori museum dan menjadi cagar budaya. Seperti pada umumnya sebuah museum, ada lini masa yang menjelaskan sejarah berdirinya bangunan ini, dan sejarah pers nasional.

Kompleks museum terdiri dari bangunan asli Sasana Soeka, dua gedung berlantai dua, dan satu gedung berlantai empat. Di depan museum terdapat lapangan parkir dan dua papan pengumuman yang dilengkapi koran gratis (Solo Pos, Suara Merdeka, dan Republika).

Bangunan tempat berdirinya Monumen Pers Nasional dibangun sekitar tahun 1918 atas perintah Mangkunegara VII, Pangeran Mangkunagaran, sebagai balai perkumpulan dan ruang pertemuan. Bangunan ini dulunya bernama “Societeit Sasana Soeka” dan dirancang oleh Mas Aboekassan Atmodirono.

Berkat semangat Indonesia bersatu, di tempat ini juga dirintis Solosche Radio Vereeniging, yaitu radio publik pertama yang dioperasikan pribumi Indonesia. Kemudian di tempat yang sama juga dibentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bahkan saat pendudukan Jepang di Hindia Belanda, gedung ini dijadikan klinik perawatan tentara, kemudian menjadi kantor Palang Merah Indonesia pada masa revolusi perjuangan bangsa Indonesia.

Wartawan-wartawan ternama seperti Rosihan Anwar, B.M. Diah, dan S. Tahsin menyarankan pendirian yayasan yang akan menaungi Museum Pers Nasional, yang dikemudian hari berhasil mendirikan museum secara fisik.
Baru di tahun 1973, Monumen Pers Nasional resmi berdiri dan lahan semula milik Mangkunegaran disumbangkan ke pemerintah tahun 1977.

para tokoh pers nasional
para tokoh pers nasional

Tentang Radio Kambing di Zaman Agresi

radio kambing
replika ruangan radio kambing
poster kisah sejarah radio kambing
sejarah radio kambing

Walaupun Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, Belanda tidak mau terima dan tidak tinggal diam. Apalagi waktu itu komunikasi masih sangat sulit, sehingga gaung kemerdekaan Indonesia belum terdengar ke seluruh dunia.

Belanda pun melakukan agresi militer di tahun 1948, sehingga zaman tersebut, radio menjadi barang yang paling dicari tentara Belanda. Radio merupakan alat siaran TNI pada masa perang mempertahankan kemerdekaan RI.
Belanda yang tidak ingin pemerintah Indonesia menyiarkan keberadaanya ke luar maupun dalam negeri, di masa agresi militer tersebut tentara Belanda menghancurkan semua stasiun radio yang ada di Indonesia.

Salah satu yang menjadi incaran utama tentara Belanda adalah stasiun radio RRI di Surakarta, yang merupakan stasiun pertama atau paling tua di Indonesia.

Tetapi gelagat Belanda untuk menghancurkan pemancar RRI di Surakarta ini tentu saja sudah diduga oleh para pejuang. Para pejuang yang terdiri TNI dan penyiar radio bersatu padu mengungsikan perangkat siaran dan pemancar radio dari kantor RRI.

Pemancar radio itu disembunyikan di wilayah Karanganyar, melalui perjuangan yang tidak mudah. Kalau tidak ada kendaraan, maka alat siaran tersebut walaupun berat, dipanggul bahkan digendong untuk diungsikan.

Radio tersebut berhasil disembunyikan di kandang kambing yang berlokasi di wilayah Desa Balong, Karanganyar. Dari sinilah sejarah radio kambing lahir.

Usaha para pejuang hingga titik ini membuahkan hasil yang baik, bahkan mereka dapat siaran kembali. Setelah siaran, seluruh perlengkapan radio ditutupi oleh terpal dan dedaunan agar tetap aman dari intaian Belanda.

Konon sesekali terdengar suara kambing mengembik, di sela-sela para angkasawan melakukan siaran. Hal tersebut bukan menjadi masalah utama, asalkan Belanda tidak mengetahui keberadaaan pemancar radio di kandang kambing, semuanya akan aman.

Sejarah tentang Radio Kambing ini dapat dilihat di gedung lain yang terletak di sebelah gedung utama yang fasadnya mirip candi.
Ruangannya lebih adem karena dilengkapi AC. Di sini kita dapat melihat berbagai perlengkapan siaran, model mesin tik, dan replika ruangan tempat Radio Kambing di masa lalu.

lini masa sejarah pers nasional
mengantar koran
sepeda yang mengantarkan koran

Penutup

foto bareng mbak Sita
foto bareng mbak Sita

Gedung abu-abu yang terlihat kaku dan dingin ini, memang tak banyak pengunjungnya waktu kami mampir ke sini. Siapa yang mengira, bahwa gedung Monumen Pers Nasional ini menjadi simbol jurnalisme dan perjuangan wartawan sebagai ujung tombak pers.

Di sini juga disimpan lebih dari satu juta surat kabar dan majalah sejak masa sebelum, dan sesudah Revolusi Nasional Indonesia dari berbagai daerah di Nusantara. Koleksinya juga meliputi teknologi komunikasi dan teknologi reportase, seperti penerbangan, mesin ketik, pemancar, telepon dan kentongan besar.

Mungkin perlu promosi dan lebih banyak lagi kegiatan interaktif supaya generasi muda menyambangi gedung bersejarah ini.

Tinggalkan komentar