Selepas mengunjungi Angkor Wat, lalu ke Taman Arkeologi Angkor, di Siem Reap, kami melanjutkan perjalanan ke ibu kota Kamboja, yaitu ke Phnom Penh. Di tahun 1970an, negara ini pernah dilanda perang saudara hebat yang menelan korban jutaan manusia. Kemudian melibatkan juga negara-negara lain untuk menghentikan pemerintahan Khmer Merah waktu itu. Teman kami yang kebetulan bertugas di sana mengajak mengunjungi tempat-tempat disebut juga sebagai dark tourism sites di Phnom Penh, Kamboja. Perlu waktu bertahun untuk saya berani menuliskan pengalaman perjalanan ini.
Dark Tourism Sites
Dark tourism sites adalah tempat-tempat yang secara sejarah berkaitan dengan tragedi, kematian, bencana, atau penderitaan lalu dijadikan objek wisata. Tujuannya tentu saja untuk mempelajari sejarah, mengenang para korban, atau sekadar memenuhi rasa ingin tahu akan sisi gelap dari kemanusiaan.
Kamboja yang carut-marut akibat perang, menjadikan obyek-obyek yang memakan korban jiwa sebagai tempat untuk menarik simpati.
Sama halnya sisa-sisa kamp konsentrasi, musoleum, makam tanpa nama di Jerman, Museum Lubang Buaya di Jakarta, juga dijadikan obyek wisata.
Tujuannya tak bukan supaya seluruh dunia tahu, beginilah kalau perang atau tragedi kemanusiaan.
Ada dua obyek wisata yang kami datangi selama di Phnom Penh.
Tuol Sleng

Tuol Sleng merupakan bekas sekolah Tuol Svay Prey Secondary School. Ketika rezim Khmer Merah dengan ketuanya Pol Pot memenangkan perang saudara, sekolah ini dijadikan penjara dan tempat interogasi para tahanan.
Dari tahun 1975 hingga 1979 diperkirakan sekitar 17.000 orang dipenjara di ruangan ex kelas yang disekat menjadi ruangan sempit. Setiap hari 1000 hingga 1500 tahanan disiksa dan dibunuh, atau dibawa ke Choeung Ek dan tak kembali selamanya.
Penjara ini kemudian bernama Penjara Keamanan 21 atau Kompleks (S-21).
Kompleks sekolah ini sekarang bernama Tuol Sleng Genocide Museum.
Nama Tuol Sleng menurut bahasa setempat artinya Bukit Beracun.
Waktu itu kami ditemani Riri dan Meiti, istrinya, beserta seorang guide yang fasih berbahasa Indonesia.
Riri atau Januar Hakim adalah teman kuliah kami yang bertugas sebagai staf Asian Development Bank dan ditempatkan di Phom Penh.
Kami turun dari bus masuk melalui gerbang bertuliskan Tuol Sleng Genocide Museum dan membayar tiket masuk. Kompleks Museum terdiri deretan empat gedung, A, B, C, dan D, masing-masing berlantai tiga. Susunan dan deretan bangunan tersebut membentuk halaman dalam yang cukup luas berupa taman dilengkapi kursi-kursi.



Suasana kompleks Tuol Sleng

Di halaman gedung A, ada 14 gundukan putih yang merupakan makam tahanan terakhir sebelum Khmer Merah dikalahkan pasukan pemerintah. Kami melihat-lihat deretan kamar-kamar di lantai dasar, tempat diperlihatkan ranjang besi yang dipakai untuk menyiksa para tahanan. Ruangan tampak suram dan saya pun tak berani masuk ke dalamnya.
Kemudian lanjut ke gedung B. Tampak pagar kawat berduri seolah membentuk sangkar di gedung tersebut. Konon untuk mencegah agar tahanan tidak kabur. Kalau dipikir, akan kabur ke mana ya? Karena kompleks ini pagarnya tinggi dan gerbangnya terbuat dari besi.
Berbeda dengan suasana gedung A, di gedung B, kamar-kamar dibelah dengan dinding batu bata, sehingga terbentuk sel-sel tahanan yang lebih kecil.
Di halaman di depan gedung B, tampak palang kayu di atas tiga gentong besar. Menurut guide yang mendampingi, gentong tersebut berisi air dan dipakai untuk menyiksa tahanan. Caranya, tahanan digantung kakinya di palang kayu, kemudian kepalanya dimasukkan ke air.
Deretan berikutnya adalah bangunan C, yang berfungsi sebagai ruang pamer. Di ruangan ini dipamerkan foto-foto sebagian dari para tahanan. Di ruangan lain dipamerkan pula foto dan lukisan cara-cara penyiksaan. Saya tak berlama-lama di ruangan ini, tak nyaman membayangkan bagaimana para tahanan ini disiksa dengan kejam.
Lukisan-lukisan tersebut dilukis oleh salah seorang tahanan yang selamat bernama Bou Meng. Pria kelahiran 1941, berhasil selamat karena keahliannya sebagai pelukis, yang bersedia menggambarkan kekejaman tentara Khmer Merah.
Perlu diketahui, Pol Pot mencurigai semua orang yang berpendidikan, sehingga membunuh guru, dosen, mahasiswa, dokter, aktivis partai, insinyur, hingga biarawan.
Ada sebuah gedung lagi yaitu gedung D, tetapi saya tidak berani masuk ke dalamnya. Konon di dalamnya ada tengkorak-tengkorak para tahanan yang wafat.
Enggak deh …
Saya memisahkan diri dan memperhatikan suasana taman yang ada di tengah halaman Museum.
Teman-teman lain yang merasa cukup melihat dan mendapat penjelasan pun sama-sama menuju taman.
Beberapa ada yang melihat-lihat toko cenderamata dan membeli beberapa souvenir atau berfoto dengan Bou Meng, salah seorang survivor.
Choeung Ek Killing Field

Dark tourism sites berikutnya adalah ke Choeung Ek Killing Field, letaknya agak di luar kota, sekitar 15 km dari kota Phnom Penh. Aktivitas Choeung Ek masih berkaitan dengan Tuol Sleng (Kompleks S-21) waktu masih tempat interogasi. Ribuan tahanan dari S-21 dibawa dengan truk-truk dan ditempatkan di barak-barak di Choeung Ek.
Waktu kami tiba di sini, ada sebuah bangunan tinggi seolah menara di tengah kompleks Choeung Ek Genocidal Center ini. Tapi kami diarahkan mengelilingi kawasan terlebih dahulu. Kami diberi pilihan memakai semacam walk-man yang berisi informasi tiap area. Saya memilih melihat-lihat saja dan membaca penjelasan di tiap obyek atau bangunan-bangunan yang ada.

Ada yang berupa barak bercat hitam interiornya tempat menampung para tahanan. Tujuannya dicat hitam agar para tahanan tidak tahu siang atau malam.
Kemudian ada beberapa bekas lubang yang menurut penjelasannya merupakan makam ratusan korban yang dikubur jadi satu. Entah memang dikubur dalam keadaan meninggal atau dikubur hidup-hidup tak ada yang pasti.
Ada juga kotak-kotak kaca yang berisi pakaian ratusan anak-anak yang wafat. Pakaian-pakaian tersebut sudah amat lusuh dimakan usia.
Saya mengikuti jalan setapak yang ada untuk mengelilingi kawasan.
Sebetulnya ya jujur saja waktu itu, saya ingin ambil langkah seribu, patah balik 180 derajat, membatalkan langkah, dan kembali ke area parkir.
Apa mau dikata, jalurnya satu arah, kami harus keluar dari pintu yang ditentukan.
Apa boleh buat, terpaksa saya melanjutkan perjalanan, sambil langkah saya kadang menginjak serpihan tulang, tercium pula samar-samar bau anyir.
Horor amat lah Mak …
Menjelang pintu keluar, ada sebuah pohon besar yang dinamakan The Magic Tree.
Dulu zaman Choeung Ek menjadi ladang pembantaian, di pohon ini dipasang loud speaker besar. Pengeras suara tersebut untuk mendengarkan lagu-lagu dengan suara keras, agar suara para tahan yang disiksa tidak terdengar oleh masyarakat sekitar.

Setelah keluar dari area Killing Field, kami diarahkan untuk melihat-lihat Museum dan ke ruang Audio Visual untuk melihat tayangan suasana di zaman itu.
Setelah tahun 1979 dan pemerintahan Pol Pot dikalahkan ditemukan sekitar 8000-an jasad yang tidak diketahui identitasnya. Ada ratusan lubang kuburan masal ditemukan dan sebagian berhasil digali.
Penutup
Tahun 1988 pemerintah setempat mendirikan Menara setinggi 65 meter, di dalamnya ada susunan lantai-lantai untuk merelokasi tulang-belulang jasad yang ditemukan. Menurut kepercayaan Buddha, penganutnya percaya bahwa untuk menghormati orang yang sudah meninggal harus ditempatkan di tempat yang baik.
Bangunan tersebut bernama Memorial Stupa, ditujukan untuk mengenang arwah para korban kebutralan tentara Khmer Merah.
Jadi pembangunan Monumen berskala besar tersebut bertujuan untuk menghormati para korban dan sekaligus pembelajaran bagi kita umat manusia.
Saya hanya melihat tak terlalu dekat Monumen yang dindingnya terbuat dari kaca, sehingga tampak susunan pakaian lusuh, tengkorak, tulang belulang lainnya. Bagi saya, mereka semua dulunya adalah seseorang, jadi tak enak hati saja untuk memotret.
Seperti biasa, di setiap area wisata selalu ada toko cenderamata. Saya yang kolektor kartu pos tak mendapatkan kartu pos yang bagus maupun sekedar souvenir, akhirnya memutuskan menunggu saja teman-teman di dalam bus.
Sekilas saya curhat ke suami, bahwa keluar dari Killing Field ini saya merasa puyeng, ternyata suami pun mengalami hal yang sama.
Sepertinya kalau di tempat lain ada Dark Tourism Sites, saya memilih engga usah berkunjung deh.
Wong, ke Museum Lubang Buaya, Jakarta saja saya engga berani…